Beri Pendekatan Baru atas Terorisme
ALANGKAH rindunya bangsa ini untuk kembali diperhitungkan dunia. Diplomasi buruk, politik luar negeri yang sarat kecaman, hingga frustrasi minimnya prestasi olahraga, membuat Indonesia seperti berada di titik nol dalam pergaulan dunia.
Tapi, di penghabisan April ini, seorang anak bangsa masuk daftar para ilmuwan, pemikir, dan aktivis paling berpengaruh seantero jagat. Nama Anies Baswedan secara mengejutkan terpacak di antara 100 intelektual dunia versi majalah Foreign Policy (FP), Amerika. Dia sejajar dengan sejumlah sosok fenomenal, seperti Yusuf Al Qardhawi, Samuel Huntington, Fukuyama, M. Yunus, dan Lee Kuan Yew.
Sejumlah kalangan terkejut atas berita yang dilansir dalam situs internet www.foreignpolicy.com 22 April 2008 tersebut. Rektor sebuah universitas swasta di Jakarta berusia 39 tahun itu dikualifikasikan sebagai pemikir berpengaruh di dunia.
Ditemui di kediamannya Jumat (25/4), Anies pun tak menyangka namanya berada di daftar bergengsi itu. "Teman saya di Amerika yang kasih tahu kali pertama. Kebetulan dia pembaca setia Foreign Policy," katanya terus terang kepada Candra Kurnia Harinanto dari Jawa Pos.
Rektor Universitas Paramadina, yang dirintis Nurcholish Madjid, itu merasa tak pernah punya hubungan dengan majalah yang memuat namanya tersebut. Tak pernah diwawancara dan, bahkan, tak satu artikel pun yang dia tulis pernah dimuat di majalah FP.
Majalah FP, menurut Wikipedia, adalah majalah dua bulanan Amerika. Majalah top itu didirikan pada 1970 oleh Samuel P. Huntington dan Warren Demian Manshel. Penerbitnya juga lembaga terkenal di Washington D.C, yakni Carnegie Endowment for International Peace. Topik yang diulas di majalah itu termasuk politik global, ekonomi, integrasi, dan ide-ide. Pada awal 2006, majalah itu melebarkan sayap, membuat sebuah blog, Foreign Policy Passport. Setiap tahun majalah tersebut ditunggu karena memublikasikan Indeks Global, Negara Gagal, serta laporan khusus Ide-Ide Paling Berbahaya di Dunia.
Di antara beberapa kualifikasi yang menjadi dasar pemilihan tokoh-tokoh dunia itu, alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut tak merasa memenuhinya. "Satu-satunya kualifikasi yang cocok cuma mudanya saja," katanya merendah. Intelektual kelahiran Kuningan, 7 Mei 1969, tersebut mengira, surveyor majalah FP memilih namanya secara random dari tokoh-tokoh menonjol di Asia Pasifik. "Kebetulan saya orang muda," katanya, lagi-lagi merendah.
Karena tak mengerti dasar pemilihan dirinya sebagai salah seorang tokoh dunia, ayah dua putra dan satu putri itu hanya bisa meraba mengapa namanya dinilai layak disejajarkan dengan pemikir hebat. Sekitar 2002-2003, Anies pernah menulis sebuah paper berjudul Paradigm Entrapment in Analyzing Terrorism atau jebakan paradigma dalam analisis terorisme. "Tapi, paper itu juga tidak ada yang mau memuat," lanjut peneliti utama Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu.
Meski tak dipublikasikan, paper berisi kerangka kerja menganalisis terorisme tersebut mendapatkan sambutan baik dari kalangan akademisi di Negeri Paman Sam. "Mungkin, saya adalah salah satu di antara sedikit orang Indonesia yang sering diundang di Chicago, Washington, tentang situasi terakhir di Indonesia dan bagaimana kita membaca perkembangan terakhir," ingatnya.
Dalam analisis jebakan paradigma, Anies menawarkan konsep baru dalam menganalisis terorisme. Yakni, pendekatan rasional. Selama ini masyarakat selalu menganalisis terorisme hanya dengan menggunakan pendekatan kultural.
Tentang dua pendekatan itu, dia menjelaskan, penggunaan pendekatan kultural dalam menganalisis terorisme memaksa umat Islam selalu mencari pembelaan atas agamanya. "Setiap ada pelaku bom pasti yang diungkit agamanya apa, ideologinya, latar belakang pendidikannya apa. Akibatnya, para pemuka agama Islam sibuk mencari pembelaan dengan menyatakan, Islam adalah agama damai, santun, untuk meng-counter opini masyarakat yang menyerang background kulturalnya," tandasnya. Pendekatan seperti itu juga sering digunakan ilmuwan muslim di Indonesia dan mayoritas negara di dunia.
Pendekatan rasional ialah melihat terorisme dari latar belakang kepentingan sang pelaku. Pelaku teror juga memperhitungkan efek perbuatannya pada masa depan. "Jadi pelaku bom, misalnya, akan berpikir apa yang saya dapat dengan melakukan teror seperti itu," paparnya. Pendekatan itu lebih mampu mengungkap akar masalah dan penyebab utama terorisme terjadi.
Pendekatan rasional telah menemukan fakta empirisnya. Anies menyebut sebuah wilayah yang paling intensif terjadi bom bunuh diri adalah Lebanon. Dari data, pelaku bom bunuh diri di negara tersebut 70 persen non-muslim. Sementara pelaku muslim hanya sekitar 12 persen.
Inventor rompi bom dan pemegang rekor dunia bom bunuh diri adalah Macan Tamil, bukan Palestina. Menggunakan pendekatan kultural itu mengecohkan, karena peradaban Islam telah hidup selama15 abad, tapi baru beberapa dekade terakhir ini muncul tindak kekerasan teror. Jadi adalah salah total jika Islam lalu dianggap sebagai sumber terorisme.
"Wong berabad-abad tanpa terorisme kok sekarang tahu-tahu dituding teroris. Jadi pendekatan kultural tidak bisa menjelaskan why, when, and how muncul terorisme" jelas doktor dari Northern Illinois University itu. Sama halnya dengan ekstremisme yang sudah hidup sejak ratusan tahun lalu dan tidak hanya ada di dalam Islam.
Dalam kajian pendekatan rasional, fokus analisis tak hanya pada pelaku, tapi juga pada objek terorisme. Sebab, menurut mantan ketua umum Senat Mahasiswa UGM itu, peristiwa teror merupakan hasil interaksi intensif antara pelaku dan objek teror.
Interaksi itu biasanya berbentuk penindasan satu pihak kepada kelompok yang lain. Hingga akhirnya terjadi perlawanan. "Karena itu, pendekatan rasional nggak laku di Amerika. Keburukan Amerika bisa terbongkar," katanya. Dia berharap, penggunaan pendekatan rasional bisa meluruskan semua.
Dalam daftar 100 intelektual dunia tersebut, terdapat sejumlah tokoh yang menjadi referensi sekaligus ingin dikritik Anies. Yusuf Al Qardhawi (tokoh Ikhwanul Muslimin) dan Noam Chomsky (linguis kritis AS dari MIT) adalah dua pemikir idolanya. Keduanya sama-sama anti-Amerika. "Saya baca terus tulisan dua orang itu," tandasnya.
Tapi, saat Anies ditanya, jika ada kesempatan bertemu dengan 100 orang yang ada dalam daftar intelektual dunia itu, dia menjawab ingin mengkritik pemikiran Fukuyama dan Samuel Huntington. Sebab, Fukuyama pernah memprediksi bahwa pasca-Perang Dunia II, Amerika akan menguasai perdaban dunia. "Dia bilang peradaban akan berakhir dan Amerika akan menjadi raja. Padahal, sekarang semua mata melihat kebangkitan Tiongkok dan India menjadi kekuatan ekonomi politik baru di dunia. Dan, rupanya, akan terus berkembang pesat," kritiknya.
Rencananya, majalah FP me-ranking 100 nama tokoh dunia tersebut melalui voting yang dilakukan masyarakat. Hasil polling akan diterbitkan dalam majalah tersebut edisi Juli-Agustus 2008.
ALANGKAH rindunya bangsa ini untuk kembali diperhitungkan dunia. Diplomasi buruk, politik luar negeri yang sarat kecaman, hingga frustrasi minimnya prestasi olahraga, membuat Indonesia seperti berada di titik nol dalam pergaulan dunia.
Tapi, di penghabisan April ini, seorang anak bangsa masuk daftar para ilmuwan, pemikir, dan aktivis paling berpengaruh seantero jagat. Nama Anies Baswedan secara mengejutkan terpacak di antara 100 intelektual dunia versi majalah Foreign Policy (FP), Amerika. Dia sejajar dengan sejumlah sosok fenomenal, seperti Yusuf Al Qardhawi, Samuel Huntington, Fukuyama, M. Yunus, dan Lee Kuan Yew.
Sejumlah kalangan terkejut atas berita yang dilansir dalam situs internet www.foreignpolicy.com 22 April 2008 tersebut. Rektor sebuah universitas swasta di Jakarta berusia 39 tahun itu dikualifikasikan sebagai pemikir berpengaruh di dunia.
Ditemui di kediamannya Jumat (25/4), Anies pun tak menyangka namanya berada di daftar bergengsi itu. "Teman saya di Amerika yang kasih tahu kali pertama. Kebetulan dia pembaca setia Foreign Policy," katanya terus terang kepada Candra Kurnia Harinanto dari Jawa Pos.
Rektor Universitas Paramadina, yang dirintis Nurcholish Madjid, itu merasa tak pernah punya hubungan dengan majalah yang memuat namanya tersebut. Tak pernah diwawancara dan, bahkan, tak satu artikel pun yang dia tulis pernah dimuat di majalah FP.
Majalah FP, menurut Wikipedia, adalah majalah dua bulanan Amerika. Majalah top itu didirikan pada 1970 oleh Samuel P. Huntington dan Warren Demian Manshel. Penerbitnya juga lembaga terkenal di Washington D.C, yakni Carnegie Endowment for International Peace. Topik yang diulas di majalah itu termasuk politik global, ekonomi, integrasi, dan ide-ide. Pada awal 2006, majalah itu melebarkan sayap, membuat sebuah blog, Foreign Policy Passport. Setiap tahun majalah tersebut ditunggu karena memublikasikan Indeks Global, Negara Gagal, serta laporan khusus Ide-Ide Paling Berbahaya di Dunia.
Di antara beberapa kualifikasi yang menjadi dasar pemilihan tokoh-tokoh dunia itu, alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut tak merasa memenuhinya. "Satu-satunya kualifikasi yang cocok cuma mudanya saja," katanya merendah. Intelektual kelahiran Kuningan, 7 Mei 1969, tersebut mengira, surveyor majalah FP memilih namanya secara random dari tokoh-tokoh menonjol di Asia Pasifik. "Kebetulan saya orang muda," katanya, lagi-lagi merendah.
Karena tak mengerti dasar pemilihan dirinya sebagai salah seorang tokoh dunia, ayah dua putra dan satu putri itu hanya bisa meraba mengapa namanya dinilai layak disejajarkan dengan pemikir hebat. Sekitar 2002-2003, Anies pernah menulis sebuah paper berjudul Paradigm Entrapment in Analyzing Terrorism atau jebakan paradigma dalam analisis terorisme. "Tapi, paper itu juga tidak ada yang mau memuat," lanjut peneliti utama Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu.
Meski tak dipublikasikan, paper berisi kerangka kerja menganalisis terorisme tersebut mendapatkan sambutan baik dari kalangan akademisi di Negeri Paman Sam. "Mungkin, saya adalah salah satu di antara sedikit orang Indonesia yang sering diundang di Chicago, Washington, tentang situasi terakhir di Indonesia dan bagaimana kita membaca perkembangan terakhir," ingatnya.
Dalam analisis jebakan paradigma, Anies menawarkan konsep baru dalam menganalisis terorisme. Yakni, pendekatan rasional. Selama ini masyarakat selalu menganalisis terorisme hanya dengan menggunakan pendekatan kultural.
Tentang dua pendekatan itu, dia menjelaskan, penggunaan pendekatan kultural dalam menganalisis terorisme memaksa umat Islam selalu mencari pembelaan atas agamanya. "Setiap ada pelaku bom pasti yang diungkit agamanya apa, ideologinya, latar belakang pendidikannya apa. Akibatnya, para pemuka agama Islam sibuk mencari pembelaan dengan menyatakan, Islam adalah agama damai, santun, untuk meng-counter opini masyarakat yang menyerang background kulturalnya," tandasnya. Pendekatan seperti itu juga sering digunakan ilmuwan muslim di Indonesia dan mayoritas negara di dunia.
Pendekatan rasional ialah melihat terorisme dari latar belakang kepentingan sang pelaku. Pelaku teror juga memperhitungkan efek perbuatannya pada masa depan. "Jadi pelaku bom, misalnya, akan berpikir apa yang saya dapat dengan melakukan teror seperti itu," paparnya. Pendekatan itu lebih mampu mengungkap akar masalah dan penyebab utama terorisme terjadi.
Pendekatan rasional telah menemukan fakta empirisnya. Anies menyebut sebuah wilayah yang paling intensif terjadi bom bunuh diri adalah Lebanon. Dari data, pelaku bom bunuh diri di negara tersebut 70 persen non-muslim. Sementara pelaku muslim hanya sekitar 12 persen.
Inventor rompi bom dan pemegang rekor dunia bom bunuh diri adalah Macan Tamil, bukan Palestina. Menggunakan pendekatan kultural itu mengecohkan, karena peradaban Islam telah hidup selama15 abad, tapi baru beberapa dekade terakhir ini muncul tindak kekerasan teror. Jadi adalah salah total jika Islam lalu dianggap sebagai sumber terorisme.
"Wong berabad-abad tanpa terorisme kok sekarang tahu-tahu dituding teroris. Jadi pendekatan kultural tidak bisa menjelaskan why, when, and how muncul terorisme" jelas doktor dari Northern Illinois University itu. Sama halnya dengan ekstremisme yang sudah hidup sejak ratusan tahun lalu dan tidak hanya ada di dalam Islam.
Dalam kajian pendekatan rasional, fokus analisis tak hanya pada pelaku, tapi juga pada objek terorisme. Sebab, menurut mantan ketua umum Senat Mahasiswa UGM itu, peristiwa teror merupakan hasil interaksi intensif antara pelaku dan objek teror.
Interaksi itu biasanya berbentuk penindasan satu pihak kepada kelompok yang lain. Hingga akhirnya terjadi perlawanan. "Karena itu, pendekatan rasional nggak laku di Amerika. Keburukan Amerika bisa terbongkar," katanya. Dia berharap, penggunaan pendekatan rasional bisa meluruskan semua.
Dalam daftar 100 intelektual dunia tersebut, terdapat sejumlah tokoh yang menjadi referensi sekaligus ingin dikritik Anies. Yusuf Al Qardhawi (tokoh Ikhwanul Muslimin) dan Noam Chomsky (linguis kritis AS dari MIT) adalah dua pemikir idolanya. Keduanya sama-sama anti-Amerika. "Saya baca terus tulisan dua orang itu," tandasnya.
Tapi, saat Anies ditanya, jika ada kesempatan bertemu dengan 100 orang yang ada dalam daftar intelektual dunia itu, dia menjawab ingin mengkritik pemikiran Fukuyama dan Samuel Huntington. Sebab, Fukuyama pernah memprediksi bahwa pasca-Perang Dunia II, Amerika akan menguasai perdaban dunia. "Dia bilang peradaban akan berakhir dan Amerika akan menjadi raja. Padahal, sekarang semua mata melihat kebangkitan Tiongkok dan India menjadi kekuatan ekonomi politik baru di dunia. Dan, rupanya, akan terus berkembang pesat," kritiknya.
Rencananya, majalah FP me-ranking 100 nama tokoh dunia tersebut melalui voting yang dilakukan masyarakat. Hasil polling akan diterbitkan dalam majalah tersebut edisi Juli-Agustus 2008.
No comments:
Post a Comment