Sineas Sebaiknya Tidak Latah Film Religi
JAKARTA - Sukses film Ayat Ayat Cinta (AAC) membuat sosok sutradara muda Hanung Bramantyo saat ini begitu dikenal. Filmnya yang ditonton semua kalangan, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, itu dianggap fenomenal. Sampai sekarang ditonton sekitar 3,5 juta penonton. Rekor baru di Indonesia.
Sukses AAC seperti menjadi pertanda kebangkitan genre film religi di industri film layar lebar. Sebab, beberapa judul film dengan genre yang sama karya sineas lainnya siap menyusul.
Seperti apa Hanung menyikapi kesuksesannya? Apa bonus yang dia dapatkan? Dan bagaimana pemikirannya tentang industri film di Indonesia? Berikut petikan wawancara dengan dia saat ditemui Jawa Pos di Dapur Film, Sabtu (12/4).
---
Sukses AAC melebihi ekspektasi?
Ya, melebihi ekspektasi saya. Sampai kemudian menjadi seperti ini, saya tidak tahu ya. Tapi, kalau kata media, mem-blow up film ini luar biasa, rekor. Jauh melebihi ekspektasi saya. Karena itu, saya merasa bersyukur. Dan sebagai tantangan dan cobaan buat saya, ke depan harus berbuat apa, sehingga tidak mengecewakan buat diri saya, pemerintah saya, dan juga penonton yang sudah menonton film Ayat Ayat Cinta ini. Penonton kan pasti punya harapan.
Awalnya berharap ditonton dua juta orang saja?
Waktu itu dua juta itu sebagai patokan buat menghitung berapa balik modalnya. Sebab, film ini kan dibikin dengan bujet spesial. Bujet spesial tersebut di luar bujet kebanyakan film nasional. Karena itu, kami harus menghitung berapa balik modal dan berapa break event poin. Yang paling penting adalah menghitung balik modal dulu. Nah, itu dua juta (penonton). Kalaupun ada untung, sedikit sekali. Tapi, setidaknya, ketika membuat film Ayat Ayat Cinta, sekali pun tidak untung atau untungnya sedikit, impact-nya kan luar biasa. Itulah yang membuat produser mau mengeluarkan uang.
Lantas, apa bonus kesuksesan itu?
Saya belum dapat. Kami tidak tahu. Sampai detik ini, para kru belum mendapatkan bonus. Saya pribadi sih sebenarnya sudah dapat bonus. Tapi, buat saya, bonus itu saya sikapi sebagai bersifat nonmateri. Ketenaran saya, harapan masyarakat buat saya. Kalaupun ada bonus, saya berharap untuk para kru. Jumlahnya sekitar 150 orang. Sebab, mereka tidak mendapatkan impact apa-apa dari Ayat Ayat Cinta secara langsung. Biar bagaimanapun, film itu bisa bagus karena ada kru.
Sukses AAC seperti membangkitkan kembali genre film religi. Menurut Anda?
Saya tidak tahu. Saya belum pernah melihat perkembangan fenomena film religi akan seperti sinetron dalam sepanjang sejarah perfilman nasional. Kemunculan film Sunan Kalijaga atau Wali Songo (pada 1980-an) ketika itu sebenarnya juga bagian dari industri film Indonesia yang beragam. Jadi, saya tidak melihat satu massa seperti sekarang ini, kalau (film) remaja, (film) remaja semua, lalu horor, horor semua. Kalau religi, religi semua. Saya pikir baru kali ini. Tapi, religi belum terlihat. Hanya, kebetulan yang akan rilis berikutnya adalah film-film religi. Saya belum melihat film yang tidak religi. Paling hanya Laskar Pelangi (sedang produksi, sutradara Riri Riza, Red) dan Tarix Jabrik (drama remaja, segera dirilis, Red), dan ada film horor.
Buat saya, itu berbahaya. Sebab, saya berharap film religi tersebut hanya untuk mengisi kekosongan. Jangan sampai disikapi dengan latah. Saya berharap, pada satu masa itu, ada film religi, ada film horor, ada film drama, dan perjuangan, sehingga penonton mendapatkan wacana yang komplet, yang alternatif.
Apa yang ditakutkan jika latah tersebut terjadi?
Ya akhirnya itu adalah pemaksaan kreativitas. Latah itu kan pemaksaan kreativitas. Kalau kita punya ide yang tidak religi, terus dipaksa membuat religi karena sedang musim, itu kan berbahaya. Seperti halnya saya, ingin membuat film sejarah, karena tidak ada pasar yang meyakinkan, itu malah tidak jadi. Jadinya justru horor karena kecenderungan penonton menonton film horor itu.
Benarkah genre mainstream film di Indonesia hanya horor, komedi, dan drama remaja?
Sebenarnya bukan hanya itu. Itu bentuk kemasannya. Yang paling mendasari, mereka semua berlatar belakang urban, kota-kota besar. Horor juga anak remaja. Tidak pernah ada horor klasik. Tidak ada horor yang futuristis seperti film Constantin atau horor yang romance seperti Dracula. Tidak ada juga horor yang bersifat ilmu pengetahuan. Semua bersifat remaja. Film drama romantis atau romance comedy pun remaja, tidak ada yang tidak remaja. Apa bapak-bapak atau kakek-kakek jatuh cinta lagi, itu tidak ada.
Kondisi seperti itu tidak bagus?
Tidak bagus menurut saya. Sebab, penonton kita kan bukan hanya remaja. Kompleks, mulai anak-anak sampai dewasa. Sama seperti tema Ayat Ayat Cinta ini, sebenarnya dari novelnya bukan remaja. Tema dewasa. Tapi, produser memaksanya menjadi teenlit (remaja), sehingga kesannya menjadi ringan. Buat saya, itu kecenderungan yang tidak baik.
Industri musik sudah lebih maju daripada industri film. Kapan film bisa maju?
Kalau pemerintah Indonesia punya concern besar terhadap perfilman nasional, terutama undang-undang. Selama undang-undang belum berubah, tetap di bawah pemerintah dan tidak independen, tidak meletakkan film sebagai independen tapi di bawah (pemerintah), bagian dari BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), ya sulit kalau mau jadi industri yang mapan seperti Hollywood.
Termasuk Lembaga Sensor Film (LSF) yang sekarang sedang mendapat kritik?
Itu kan salah satu badan pemerintah yang berhubungan dengan BP2N. LSF itu bentukan pemerintah. Di dalam LSF itu mencantumkan nilai-nilai, yang buat kita bertolak belakang dan sudah tidak zamannya lagi. Sudah tidak zamannya kita memotong. Tapi, melakukan sensor dengan cara lebih klasifikasif atau bersifat ada dialog di sana.
Diperlukan tim intelektual, maksudnya?
Oh, harus. Di dalam LSF harus ada. Kalau perlu ada filmmaker, budayawan, dan sebagainya. Hanya, masalahnya, filmmaker siapa yang akan dimasukkan di sana? Saya sih berharap ada filmmaker yang punya misi bagus dan sudah tidak masanya lagi berproduksi film. Sebab, tenaga beliau sudah tidak memungkinkan. Itu banyak dilakukan di Hollywood, Inggris, dan beberapa negara Eropa. Jadi, orang-orang yang sudah senior, sutradara, penulis, yang tidak produktif lagi didudukkan sebagai sebuah komisi yang mengurus film.
Apa syarat agar film di Indonesia cepat menjadi industri?
Pertama, sekolah (film) harus dibikin. Sekolah itu mencetak sumber daya manusia. Setelah itu, kawasan industri. Kita tidak bisa terus-menerus mengganggu stabilitas umum. Syuting di sekolah, di rumah sakit, padahal rumah sakit itu untuk membuat tenang pasien, sementara kita masuk mengacak-ngacak di situ. Sudah saatnya kita punya kawasan industri.
JAKARTA - Sukses film Ayat Ayat Cinta (AAC) membuat sosok sutradara muda Hanung Bramantyo saat ini begitu dikenal. Filmnya yang ditonton semua kalangan, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, itu dianggap fenomenal. Sampai sekarang ditonton sekitar 3,5 juta penonton. Rekor baru di Indonesia.
Sukses AAC seperti menjadi pertanda kebangkitan genre film religi di industri film layar lebar. Sebab, beberapa judul film dengan genre yang sama karya sineas lainnya siap menyusul.
Seperti apa Hanung menyikapi kesuksesannya? Apa bonus yang dia dapatkan? Dan bagaimana pemikirannya tentang industri film di Indonesia? Berikut petikan wawancara dengan dia saat ditemui Jawa Pos di Dapur Film, Sabtu (12/4).
---
Sukses AAC melebihi ekspektasi?
Ya, melebihi ekspektasi saya. Sampai kemudian menjadi seperti ini, saya tidak tahu ya. Tapi, kalau kata media, mem-blow up film ini luar biasa, rekor. Jauh melebihi ekspektasi saya. Karena itu, saya merasa bersyukur. Dan sebagai tantangan dan cobaan buat saya, ke depan harus berbuat apa, sehingga tidak mengecewakan buat diri saya, pemerintah saya, dan juga penonton yang sudah menonton film Ayat Ayat Cinta ini. Penonton kan pasti punya harapan.
Awalnya berharap ditonton dua juta orang saja?
Waktu itu dua juta itu sebagai patokan buat menghitung berapa balik modalnya. Sebab, film ini kan dibikin dengan bujet spesial. Bujet spesial tersebut di luar bujet kebanyakan film nasional. Karena itu, kami harus menghitung berapa balik modal dan berapa break event poin. Yang paling penting adalah menghitung balik modal dulu. Nah, itu dua juta (penonton). Kalaupun ada untung, sedikit sekali. Tapi, setidaknya, ketika membuat film Ayat Ayat Cinta, sekali pun tidak untung atau untungnya sedikit, impact-nya kan luar biasa. Itulah yang membuat produser mau mengeluarkan uang.
Lantas, apa bonus kesuksesan itu?
Saya belum dapat. Kami tidak tahu. Sampai detik ini, para kru belum mendapatkan bonus. Saya pribadi sih sebenarnya sudah dapat bonus. Tapi, buat saya, bonus itu saya sikapi sebagai bersifat nonmateri. Ketenaran saya, harapan masyarakat buat saya. Kalaupun ada bonus, saya berharap untuk para kru. Jumlahnya sekitar 150 orang. Sebab, mereka tidak mendapatkan impact apa-apa dari Ayat Ayat Cinta secara langsung. Biar bagaimanapun, film itu bisa bagus karena ada kru.
Sukses AAC seperti membangkitkan kembali genre film religi. Menurut Anda?
Saya tidak tahu. Saya belum pernah melihat perkembangan fenomena film religi akan seperti sinetron dalam sepanjang sejarah perfilman nasional. Kemunculan film Sunan Kalijaga atau Wali Songo (pada 1980-an) ketika itu sebenarnya juga bagian dari industri film Indonesia yang beragam. Jadi, saya tidak melihat satu massa seperti sekarang ini, kalau (film) remaja, (film) remaja semua, lalu horor, horor semua. Kalau religi, religi semua. Saya pikir baru kali ini. Tapi, religi belum terlihat. Hanya, kebetulan yang akan rilis berikutnya adalah film-film religi. Saya belum melihat film yang tidak religi. Paling hanya Laskar Pelangi (sedang produksi, sutradara Riri Riza, Red) dan Tarix Jabrik (drama remaja, segera dirilis, Red), dan ada film horor.
Buat saya, itu berbahaya. Sebab, saya berharap film religi tersebut hanya untuk mengisi kekosongan. Jangan sampai disikapi dengan latah. Saya berharap, pada satu masa itu, ada film religi, ada film horor, ada film drama, dan perjuangan, sehingga penonton mendapatkan wacana yang komplet, yang alternatif.
Apa yang ditakutkan jika latah tersebut terjadi?
Ya akhirnya itu adalah pemaksaan kreativitas. Latah itu kan pemaksaan kreativitas. Kalau kita punya ide yang tidak religi, terus dipaksa membuat religi karena sedang musim, itu kan berbahaya. Seperti halnya saya, ingin membuat film sejarah, karena tidak ada pasar yang meyakinkan, itu malah tidak jadi. Jadinya justru horor karena kecenderungan penonton menonton film horor itu.
Benarkah genre mainstream film di Indonesia hanya horor, komedi, dan drama remaja?
Sebenarnya bukan hanya itu. Itu bentuk kemasannya. Yang paling mendasari, mereka semua berlatar belakang urban, kota-kota besar. Horor juga anak remaja. Tidak pernah ada horor klasik. Tidak ada horor yang futuristis seperti film Constantin atau horor yang romance seperti Dracula. Tidak ada juga horor yang bersifat ilmu pengetahuan. Semua bersifat remaja. Film drama romantis atau romance comedy pun remaja, tidak ada yang tidak remaja. Apa bapak-bapak atau kakek-kakek jatuh cinta lagi, itu tidak ada.
Kondisi seperti itu tidak bagus?
Tidak bagus menurut saya. Sebab, penonton kita kan bukan hanya remaja. Kompleks, mulai anak-anak sampai dewasa. Sama seperti tema Ayat Ayat Cinta ini, sebenarnya dari novelnya bukan remaja. Tema dewasa. Tapi, produser memaksanya menjadi teenlit (remaja), sehingga kesannya menjadi ringan. Buat saya, itu kecenderungan yang tidak baik.
Industri musik sudah lebih maju daripada industri film. Kapan film bisa maju?
Kalau pemerintah Indonesia punya concern besar terhadap perfilman nasional, terutama undang-undang. Selama undang-undang belum berubah, tetap di bawah pemerintah dan tidak independen, tidak meletakkan film sebagai independen tapi di bawah (pemerintah), bagian dari BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), ya sulit kalau mau jadi industri yang mapan seperti Hollywood.
Termasuk Lembaga Sensor Film (LSF) yang sekarang sedang mendapat kritik?
Itu kan salah satu badan pemerintah yang berhubungan dengan BP2N. LSF itu bentukan pemerintah. Di dalam LSF itu mencantumkan nilai-nilai, yang buat kita bertolak belakang dan sudah tidak zamannya lagi. Sudah tidak zamannya kita memotong. Tapi, melakukan sensor dengan cara lebih klasifikasif atau bersifat ada dialog di sana.
Diperlukan tim intelektual, maksudnya?
Oh, harus. Di dalam LSF harus ada. Kalau perlu ada filmmaker, budayawan, dan sebagainya. Hanya, masalahnya, filmmaker siapa yang akan dimasukkan di sana? Saya sih berharap ada filmmaker yang punya misi bagus dan sudah tidak masanya lagi berproduksi film. Sebab, tenaga beliau sudah tidak memungkinkan. Itu banyak dilakukan di Hollywood, Inggris, dan beberapa negara Eropa. Jadi, orang-orang yang sudah senior, sutradara, penulis, yang tidak produktif lagi didudukkan sebagai sebuah komisi yang mengurus film.
Apa syarat agar film di Indonesia cepat menjadi industri?
Pertama, sekolah (film) harus dibikin. Sekolah itu mencetak sumber daya manusia. Setelah itu, kawasan industri. Kita tidak bisa terus-menerus mengganggu stabilitas umum. Syuting di sekolah, di rumah sakit, padahal rumah sakit itu untuk membuat tenang pasien, sementara kita masuk mengacak-ngacak di situ. Sudah saatnya kita punya kawasan industri.
No comments:
Post a Comment