Dia adalah seorang syaikh, imam yang zuhud, ulama sufi, syaikh Islam, rujukan banyak orang, Abu Al Waqt Abdul Awwal bin syaikh ahli hadits yang panjang umurnya Abu Abdullah Isa As-Sijzi Al Harawi Al Maliyani. Lahir pada tahun 458 H.
Ibnu Al Jauzi berkata, “Abu Al Waqt adalah ulama yang sabar ketika membaca, dikenal keshalihannya, banyak dzikir, tahajjud dan menangis. Dia selalu mengikuti jejak ulama salaf. Pada tahun wafatnya, dia berniat menunaikan ibadah haji, dia telah menyiapkan segala kebutuhan untuk ibadah tersebut, kemudian dia meninggal dunia sebelum niatnya terlaksana.”
Yusuf bin Ahmad As-Syairazy dalam kitab Arba’in Al Buldan karyanya berkata, “Tatkala Aku pergi menemui guru kami, yang merupakan tujuan dan sandaran seluruh umat pada masa itu, yaitu Abu Al Waqt, Allah SWT telah menghendaki aku sampai padanya di ujung kota Kirman. Kemudian aku menyalami dan menciumnya, dan duduk di hadapannya. Dia bertanya, ‘Apa yang mendorongmu untuk mendatangi kota ini?’ Aku pun menjawab, ‘Tujuanku adalah menemuimu, engkau adalah sandaran hidupku setelah Allah SWT, dan aku telah mencatat hadits yang sampai padaku dengan penaku, kemudian aku pergi menemuimu dengan berjalan kaki dengan tujuan mendapatkan keberkahan darimu, dan aku berharap memperoleh sanadmu yang tinggi.’ Kemudian dia berkata, ‘Semoga Allah SWT memberimu taufik, dan semoga kita diberkahi oleh-Nya, dan menjadikan usaha kita semata-mata karena-Nya, dan tujuan kita adalah kepada-Nya, kalau sekiranya engkau mengetahuiku dengan sebenar-benarnya pengetahuan yang aku miliki, niscaya engkau tidak akan menyalamiku dan tidak akan duduk di hadapanku.’ Kemudian dia menangis dengan tangisan yang panjang, dan membuat seluruh yang hadir ikut menangis. Dia pun berdoa, “Allahumma usturna bi sitrika Aljamil, waj’al tahta As-Sitri ma tardha bihi ‘anna” (Ya Allah tutupilah aib kami dengan tabir-Mu yang bagus, dan jadikanlah setiap tabir yang menutupi kami itu apa-apa yang Engkau ridhai). Wahai anakku, tahukah engkau bahwa aku juga telah pergi untuk mendengarkan kumpulan hadits shahih dengan berjalan kaki bersama orang tuaku, dari daerah Harrah sampai daerah Dawiwady di Bosnia, pada waktu itu usiaku kurang dari dua puluh tahun. Ketika itu orang tuaku meletakkan dua batu di kedua tanganku seraya berkata, Bawalah dua batu itu. Dan aku pun menjaganya karena ketakutanku. Aku terus berjalan dan dia memperhatikanku. Ketika dia melihatku merasa kelelahan, dia menyuruhku untuk melempar satu batu. Aku pun melemparkannya dan aku merasa ringan. Kemudian aku berjalan sampai kelelahanku tampak olehnya. Dia bertanya, ‘Apakah engkau telah lelah?’ Aku jadi takut padanya dan berkata, ‘Aku tidak merasa lelah.’ Dia bertanya lagi, ‘Mengapa jalanmu lambat?’ Kemudian aku mempercepat jalanku bersamanya selama satu jam, setelah itu aku merasa lemah, dia mengambil batu lainnya dari tanganku dan melemparkannya. Aku terus berjalan hingga aku benar-benar lumpuh. Ketika itu dia mengangkat dan menuntunku. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan sekelompok nelayan bersama perahunya. Mereka berkata, ‘Wahai Syaikh Isa, naiklah engkau bersama anakmu ke atas perahu kami dengan membayar upah, kami akan mengantarmu ke Bosnia. Dia menjawab, ‘Ma’adzallah’ (kami berlindung kepada Allah) untuk menaiki kendaraan dalam mencari hadits-hadits Rasulullah SAW, kami akan tetap berjalan. Apabila anakku sudah tidak mampu lagi berjalan, aku akan menaikkannya di atas kepalaku dengan memikulnya, hal itu karena agungnya nilai hadits Rasulullah SAW, dan harapanku atas pahala dari-Nya. Maka buah dari baiknya niat orang tuaku itu adalah bahwa aku dapat mendengarkan kandungan kitab ini dan kitab lainnya. Sampai saat ini belum ada seorangpun yang memberikan hadits di kampung ini selain diriku, sehingga banyak utusan yang datang kepadaku dari berbagai penjuru kota. Kemudian Abu Al Waqt memberi isyarat kepada temanku Abdul Baqi bin Abdul Jabbar Al Harrawi untuk menyerahkan manisan kepadaku. Maka aku berkata, ‘Wahai tuanku, bacaanku terhadap juz kepada Abu Al Jahm lebih aku sukai daripada memakan manisan ini.’ Dia kemudian tersenyum seraya berkata, ‘Jika makanan sudah masuk ke perut, maka akan keluarlah perkataan,’ dan dia pun menyuguhkan piring berisi manisan kepada kami, sehingga kami memakannya. Dan aku mengeluarkan juz (hadits shahih), kemudian meminta dia untuk membawakan yang aslinya, dan dia pun membawakannya, kemudian berkata, ‘Jangan takut dan jangan tamak, karena sesungguhnya aku telah menolak banyak orang yang ingin mendengarkan sesuatu dariku.’ Kemudian Abu Al Waqt memohon keselamatan kepada Allah SWT. Akhirnya aku membaca juz dan aku merasa senang dengannya. Allah SWT telah memudahkanku untuk dapat mendengarkan kumpulan hadits As-Shahih dan hadits lainnya berulang kali, dan aku terus menemani dan berkhidmah kepadanya sampai dia wafat di Baghdad. Sebelum wafat dia berpesan kepadaku, ‘Kuburkanlah aku di antara guru-guruku di daerah Syuniziyyah, dan ketika sudah berada dalam detik kematian, aku sandarkan dia ke dadaku.’ Dia dikenal menyukai bacaan dzikir, kemudian masuklah Muhammad bin Al Qasim Ash-Shufi dan menelungkupkan badannya di hadapannya seraya berkata, Wahai tuanku, Nabi SAW telah bersabda,
“Barangsiapa yang akhir perkataannya La ilaha illa Allah, maka ia akan masuk surga,” kemudian ia mengangkat wajahnya dan membacakan ayat:
“Alangkah baiknya sekiranya kamumku mengetahui. Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (Qs. Yaasin [36]: 26-27).
Dia beserta orang-orang yang hadir terkejut kepadanya. Ia terus membacakan ayat Al Quran itu sampai mengkhatamkan surat, kemudian Abu Al Waqt mengucapkan: Allah, Allah, Allah. Dia meninggal dunia dalam keadaan duduk di atas sajadah pada tahun 553 H.
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment