Thursday, January 20, 2011

Yogyakarta Tempo Doeloe (Dongeng)

Yogyakarta. Apa yang terlintas dibenak seseorang ketika mendengar kata Yogyakarta? Sebuah daerah yang telah berperadaban, masyarakatnya beretika, bermoral, sopan, halus dalam berbicara, budaya keraton, mempunyai kesenian dan kebudayaan yang tinggi, bahkan tak salah jika kini ada banyak orang menyebutnya sebagai daerah pendidikan (kota pelajar).

Ya kita pun mengamini dengan gelar tersebut, karena disana memang banyak perguruan tinggi berskala nasional hingga internasional, telah banyak mencetak sarjana, gudangnya ilmu pengetahuan, hampir disetiap kost/kontrakan ada penerbit dan percetakan buku, tempat seminar, diskusi, kajian keilmuan, peneliti, penulis dan lain sebagainya. Yogyakarta – biasa disebut Yogya – adalah tempat nyaman dan aman sebagai tempat pengembangan bakat diri (belajar).


Apa yang saya utarakan diatas, kalau pembaca hanya melihat Yogya pada saat sekarang ini. Bagaimana Yogyakarta masa silam? Terkadang kita lupa atau memang tidak tahu dengan beberapa peristiwa yang telah terjadi disana. Padahal sebuah peristiwa yang telah mendahuluinya akan membentuk suatu kondisi seperti saat sekarang. Misalnya disana ada sebuah peristiwa besar, Agresi Belanda pada tahun 1948-1949 ketika menggoncang kota Yogyakarta.


Buku Ditepi Takdir: Sebuah Novel Sejarah, Perjuangan dan Pendidikan setebal 255 halaman yang ditulis oleh Hj. Samsikin Abu Daldiri ini merupakan bukti sejarah (kisah nyata) dari peristiwa diatas. Isinya banyak mengupas tuntas tentang pengalaman dirinya pada sebuah kejadian yang sangat heroik tentang Agresi Belanda ketika menyerang kota Yogya. Buku ini ditulis dengan gaya kepenulisan bentuk cerita (novel), sehingga kehadirannya diruang pembaca akan menumbuhkan rasa simpati dan empati, seakan kita mengalami sendiri pada sebuah peristiwa seperti yang dirasakan oleh seorang diri Samsikin AD sebagai penulis.


Peristiwa Agresi Belanda di Yogyakarta – termasuk juga di daerah lainnya – merupakan rangkaian detik-detik yang amat mendebarkan dan sekaligus menghantui hidup orang banyak, termasuk penulis buku ini. Hj. Samsikin Abu Daldiri atau biasa disingkat dengan Samsikin AD, adalah seorang perempuan kelahiran desa Srandakan Kabupaten Bantul. Dalam usia tuanya, ia menyempatkan diri untuk menulis kisahnya pada masa silam disaat kota Yogya di goncang penjajah, sehingga menjadi sebuah karya yang menakjubkan dan gemilang di hadapan pembaca.


Dalam kisahnya, Samsikin menceritakan dalam buku ini – bahwa ini benar-benar terjadi yang dialaminya selama hampir tujuh bulan ketika tentara Belanda menduduki kota Yogya. Dia memulai menulis cerita dirinya ketika dalam pengungsian. Disaat tentara Belanda datang untuk menduduki kota Yogya, Samsikin yang masih berumur 13 tahun 4 bulan juga ikut diungsikan demi menjaga keselamatan warga sipil dari kekejaman serangkaian serangan tentara Belanda. Tempat yang dijadikan sebagai pengungsian bukan sebuah gedung atau tembok, tetapi adalah lubang, gelap, dan panas. Selama delapan jam dalam lubang pengungsian itu, ia hanya disuguhkan makan singkong. Sementara tiap orang hanya mendapat dua kerat singkong. Namun walaupun hanya dengan dua kerat singkon, ia pun tetap merasa kenyang (hlm. 37).


Suasana terus semakin menegangkan. Pesawat pengintai tentata Belanda terus mengitari area kota Yogya. Sehingga semua yang ada dalam pengungsian hanya bisa berdoa, memohon kepada Tuhan untuk selalu diberi kekuatan bagi orang-orang yang akan membela, memperjuangkan dan mempertahakan Negara Republik Indonesia dari cengkaraman tangan penjajah. Semua dalam kecemasan, serba ketakutan, hidup sudah tidak bisa menikmati kebebasan, hidup dalam kepenjarahan, hidup dalam sebuah penderitaan, penuh siksaan dan dipekerja paksakan.


Siang, sekitar jam 11.00 hari Jumat legi tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Negara diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta di Jakarta. Semua orang berteriak “Merdeka… merdeka… kita sudah merdeka…! Hidup Bung Karno… Hidup Bung Hatta!”. Dari berbagai sudut kota di Yogya pun juga terdengar teriakan demkian dari orang banyak “merdeka”. Dihari yang bersejarah itu, semua orang, laki-laki dan perempuan, bapak-bapak dan ibu-ibu kesemuanya dikala berjumpa harus memekikan kata “merdeka” kalau tidak mau dicap sebagai mata-mata tentara Belanda (hlm. 122-123).


Samsikin sebagai bukti sejarah dalam cerita ini kini bisa tersenyum. Penjajah di bumi Indonesia khususnya di Yogyakarta telah tiada, kembali ke negaranya. Berubahlah semuanya. Langit Yogya mulai cerah, berbinar, sinar matahari mulai menembus dinding-dinding tebal untuk menerangi jagat raya, udara yang dingin dan sejuk menusuk badan untuk memberikan harapan besar bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sebagai warga Negara, Samsikin kini menikmati betapa bahagianya hidup tanpa penjajah. Bebas memilih pendidikan (sekolah), berpendapat, berekpresi, melakukan kreasi (menciptakan sebuah karya) kesemuanya adalah babakan yang amat menentukan nasib masa depannya.


Hanya saja, karena keterbatasan kemampuan diusia tuanya, masih banyak peristiwa penting di Yogyakarta pada saat kebiadaban tentara Belanda menduduki kota pelajar ini belum tercover dalam buku ini. Tetapi – minimal – buku ini cukup menjadi bacaan bagi angkatan penerus astafet perjuangan untuk negeri tercinta ini. Misalnya pembaca bisa meneladani penulis dikala ia dalam pengungsian, takut kepergok tentara Belanda, rintangan yang dihadapi, mengungsi lagi, hingga semangatnya yang tak pernah padam untuk terus menimba pendidikan.
Selamat membaca!

No comments:

Post a Comment