Beralihnya kekuasan orde baru pasca jatuhnya presiden Soeharto (1997) dari puncak kekuasaan tertinggi di Indonesia menjadi masa reformasi cukup memberikan angin segar bagi kebebasan individu dan perpolitikan di Indonesia sehingga orang bisa bebas menuntut segala hak serta tidak ada larangan untuk melakukan apa saja, termasuk aksi demo (turun) ke jalanan.
Masa Orde Baru (plash back), kebebasan begitu dibumkan. Jangan sekali-kali orang mencoba melakukan aksi demo, bersuara sedikit saja (berupa kritik) jikalau membuat pemerintah tersinggung, maka harus rela berdiam diri dibalik tembok tebal dan pagar besi atau hilang (diculik). Kebebasan menuntut hak dan pembelaan terhadap hak asasi manusia tidak berlaku saat itu.
Kini, zamannya telah berubah. Masa reformasi – kalau meminjam istilahnya Nurcholis Madjid bagaikan kran air. Jika dibuka, airnya akan berhamburan kesana-sini. Bebas memilih tempat, seenaknya menentukan pilihan, termasuk melakukan aksi demo dengan melakukan protes – sebagai kontrol – terhadap pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Ketika melakukan aksi, para demonstran pun bebas melakukan aksi apa saja. Mulai dari treatrikal, membawa simbol-simbol sampai kepada yang paling terkini yakni maraknya membawa hewan disaat melakukan aksi sebagai simbol ketidakpuasan atas sikap para pengambil kebijakan sehingga pemerintah diibaratkan dengan hewan.
Belakangan ini mungkin kita sudah akrap dengan para demonstran yang menggunakan simbol hewan. Dahulu, hewan tempatnya di kebun binatang, kini berubah mulai (bangkit) turun dijalanan. Dimata kita sudah tak asing lagi dengan nama ayam, tikus, cecak, buaya, terakhir adalah kerbau. Ayam digunakan sebagai simbol disaat demonstran melakukan aski di depan gedung KPK, tikus selalu disimbolkan dengan koruptor, cecak-buaya merupakan istilah perseturuan antara KPK dan Polri, sementara kerbau digunakan sebagai simbol kritikan terhadap 100 kinerja pemerintahan SBY-Boediono.
Josef dan Raja Hutan
Aksi demo dengan menggunakan simbol hewan kalau membaca sejarah bukanlah sesuatu yang baru terjadi saat ini. Dalam sejarah perkembangan manusia, pada masa kehidupan Nabi Ya’quf dan Yusuf telah ada aksi demo dengan membawa si raja hutan (macan). Tetapi macan yang dibawah oleh saudara-saudara Josef ketika menghadap Nabi Ya’quf bukan sebagai simbol, melainkan sebagai terdakwah, bahwa ia (macan) itu yang menikam (makan) Josef hingga tewas. Kemudian dengan mukjizat Allah SWT, macan tersebut bisa bersaksi dan menyatakan tidak bersalah di depan raja Ya’quf.
Cerita diatas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sifat hawaniyah (kehewanan) tetap selalu bersemayam dalam setiap diri seseorang. Aksi yang dilakukan oleh saudara-saudara Josef sebenarnya – secara tidak sengaja mensimbolkan sifat keganasan dalam dirinya. Sehingga mereka berani berbohong, tega menganiaya saudaranya sendiri hanya untuk merebut kekuasaan dan lain sebagainya.
Dalam agama Islam, sejak dini, ketika masih duduk di level pendidikan dasar, kita sudah dikenalkan dengan pelajaran suatu keadaan seseorang setelah ajal kematian menuju alam mahsyar (yaumul al-ba’tsi). Dalam kitab ajaran dijelaskan, barangsiapa yang hidupnya selalu mengambil dan mengkrukuti hak milik orang lain, maka setelah bangkit nanti dari alam kuburnya, mukanya seperti tikus. Bagi siapa semasa hidupnya kelakuannya selalu kolusi dan nepotisme, mukanya akan seperti anjing. Orang yang hidupnya bersikap sombong, merasa dirinya lebih kuat dari yang lain, muka kelak akan seperti macan. Jadi, semuanya merupakan cerminan (tamtsil) tergantung perbuatannya ketika hidup di dunia.
Belajar dari Kesalahan
“Semut di seberang lautan kelihatan, gajah dikelopak mata tidak kelihatan”. Artinya, kita terkadang tidak bisa melihat kesalahan atau potensi yang ada pada dirinya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain orang untuk menilainya. Melihat aksi demo yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk protes (kontrol) terhadap kinerja 100 hari kepemimpinan SBY-Boediono yang membawa kerbau ke halaman istina tentunya berbeda dengan yang dialami oleh saudara-saudara Josef. Kalau saudara Josef mengakui kesalahannya, SBY-Boediono justru menyesalkan adanya aksi semacam itu.
Dengan kejadian semacam itu (rakyatnya berani menyimbolkan kurbau), hendaknya menjadi cambuk bagi kepemimpinan SBY-Boediono beserta kabinet Indonesia Bersatu Jilid II kedepan untuk introsfeksi diri (muhasabah), dan simbol yang semacam itu dijadikan sebagai cerminan guna membaiki kebijakan-kebijakannya – yang kata banyak orang – cenderung lambat dalam bertindak, didekti suatu golongan dan dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan luar yang hanya terkadang berorientasi pada kepentingan kelompok dan status quo. Karena – jujur saja – masyarakat tidak mungkin melakukan suatu tindakan (berani menyamakan dengan kerbau), kalau tidak ada hal yang menyebabkan sesuatu terjadi sebelumnya. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat bukanlah musuh pemerintah, tapi jadikan rakyat sebagai metra dalam setiap pengambilan keputusan yang berpihak pada kepentingan bersama.
Proses komunikasi sangat penting antara pemerintah dengan rakyatnya. Komunikasi disini diibaratkan sebagai organ dalam tubuh manusia. Tindakan (untuk memperbaiki kinerja) semacam itu merupakan langkah pasti yang paling ditunggu-tunggu rakyat Indonesia disaat Negara dalam berbagai krisis. Kalau demikian yang dilakukan oleh SBY-Boediono, masyarakat akan antipatif, empatik pada pemerintah, sehingga akan terjalin sebuah komunikasi erat antara pemimpin dengan rakyatnya. Walhasil, demokrasi – dari, oleh dan untuk rakyat – bakal terwujud. Kalau tidak taruhannya bukan hanya popularitas SBY-Boediono dan kabinetnya, tetapi proses demokrasi pun di Indonesia akan ditolak oleh masyarakat.
No comments:
Post a Comment