Ayahnya berasal dari kampung di daerah Zabid, tempat orang-orang shalih. Di tempat itu Ali tumbuh dan berkembang. Semasa hidupnya dia memilih kehidupan zuhud. Dia pernah menunaikan ibadah haji dan bertemu dengan banyak ulama, maka ia pun memperoleh ilmu dari mereka, kemudian dia mulai memberi nasihat. Dia tidak menyukai tentara.
Dia adalah ulama yang fashih, bersih wajahnya, tinggi postur tubuhnya, bersuara indah, banyak hafalannya, menjalani kehidupan sufi, memiliki tempat tidur yang tidak bagus, selalu ditimpa musibah, berbicara sesuai dengan bisikan hati nuraninya sehingga dapat menyentuh orang. Dia setiap hari memberikan nasihat dan dia suka melakukan hal tersebut.
Umarah Al Yamani berkata, “Aku pernah bersamanya selama satu tahun, aku meninggalkan pelajaranku dan mulai disibukkan dengan ibadah. Kemudian ayahku mengembalikanku lagi ke sekolah. Aku terus mengunjunginya sebulan sekali. Dan ketika keadaannya menjadi gawat, akhirnya aku meninggalkannya.”
Sejak tahun 530 H, dia terus memberikan ceramah berisi nasihat dan peringatan di kampung halamannya. Dia berdalil dengan cara yang baik. Tuannya Ummu Fatik telah membebaskannya dan seluruh kerabatnya dari membayar pajak hartanya. Mereka menjadi kaya hingga mampu mengumpulkan empat puluh ribu bala tentara untuk berperang. Dia ikut berperang dan berkata, “Sekarang sudah tiba waktunya, permasalahan sudah mendekat, seolah-olah apa yang aku katakan, kalian dapat menyaksikannya sendiri.” Kemudian dia bergerak menuju negeri Khaulan?, menyerang dan menawan, membunuh banyak manusia. Aku berjumpa dengannya ketika seseorang sedang menyeru pada sekelompok pasukan untuk mengerahkan tentara. Dia berpaling dan kemudian merencanakan untuk membunuh menteri dari keluarga Fatik. Dia merangkak ke tempat Zabid, namun kuluarga Fatik dapat membunuhnya dan di tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh luka. Dalam peperangan itu banyak yang terbunuh dari kedua belah pihak. Kemudian Fatik dibunuh oleh Mutawalli Zabid. Akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Ibnu Mahdi pada bulan Rajab tahun 554 H.
Dia tidak sempat menikmati kekuasaan, dan mati terbunuh setelah berkuasa selama tiga bulan. Kekuasaan akhirnya dilanjutkan oleh anaknya Abdun Nabi. Kekuasaannya menjadi kuat dan besar, sampai menguasai seluruh negeri Yaman. Ia dapat mengumpulkan harta yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Ia –ayahnya- memandang bahwa kekufuran dapat terjadi dengan kemaksiatan, dan mengahalalkan untuk menggauli para budak setelahnya. Pengikutnya meyakini hal itu melebihi keyakinan seluruh umat kepada Nabinya.
Umarah berkata, “Diceritakan kepadaku bahwa dia tidak mempercayai sumpah orang-orang yang berada bersamanya sekalipun ia akan menyembelih anak atau saudaranya. Apabila membunuh orang dia menyiksanya di tengah terik matahari, dan tidak pernah memberi ampun kepada siapapun. Tidak seorang pun dari pasukannya yang memiliki kuda atau senjata pribadi, akan tetapi semuanya adalah miliknya sampai waktu perang tiba. Orang yang sudah menyerah dibunuhnya secara paksa, orang mabuk juga dibunuh. Dan siapa saja yang berzina atau mendengarkan lagu, maka ia akan dibunuh. Begitu juga siapa yang telat mengikuti shalat jamaah juga akan dibunuh.
source : cara-global.blogspot.com
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment