Oleh Syaifoel Hardy
Setiap kali mau membuka pintu keluar flat atau pada saat masuk, selalu saya temui pemandangan yang sama. Dua pasang sandal, milik dua orang yang tinggal di kamar sebelah, selalu ‘berserakan’ di doormate. Padahal tempat sandal atau sepatu sudah disediakan. Mau memberitahu mereka berdua, kayaknya masalahnya terlalu sepele. Saya yang mengalah. Setiap saat itu pula saya yang menaruh kedua pasang sandal tersebut ke tempat yang semestinya.
Tidak terbatas di situ. Juga yang namanya membuang sampah ke luar. Padahal yang menumpuk sampah yang terletak di dapur adalah seluruh penghuni flat, kami bertiga. Apalagi yang namanya membersihkan meja, kursi dan lain-lain. Jika dihitung, bisa bikin sakit hati. Jika dipikir, betapa beratnya mengharap ‘pengertian’ orang lain supaya memahami apa yang kita rasakan. Akan tetapi, insyaallah saya kerjakan dengan ikhlas. Dianggap ibadah. Biar hati dan pikiran jadi ‘plong’.
Sewaktu di Kuwait saya dapatkan pengalaman yang similar. Sebenarnya dalam hati ini malu dengan ‘pemilik’ flat, meski Pemerintah, melalui kementrian kesehatannya. Sewaktu kami datang, semua barang-barang yang ada di flat tergolong baru. Mulai dari karpet, mesin cuci, kompor gas, sofa, televisi, furniture dan lainnya. Pada awalnya, kami membuat semacam daftar ‘dinas’. Semua yang tinggal di dalam flat, mendapatkan giliran untuk masak dan bersih-bersih flat.
Sayangnya, rencana kerja yang sangat bagus ini tidak diimplementasikan dengan baik. Hasilnya bisa diduga. Tidak kurang dari empat bulan, barang-barang sudah mulai karatan. Karpet jadi kehitaman. Poselin kamar mandi jadi kecoklatan. Pintu almari atau buffet pada berguguran satu per satu, kehilangan mur nya. Minyak goreng di dapur melekat di sana-sini hingga sulit dihilangkan. Televisi yang semula gres, jadi tebal tertutup debu. Satu per satu penghuni flat tidak lagi peduli. Singkatnya, flat yang tadinya berharga mahal ini tidak lebih dari rumah hunian kelas buruh rendahan.
Begitulah……
Sebagian besar kita barangkali memiliki pengalaman yang sama. Di tempat kerja misalnya. Hanya karena benda atau barang-barangnya bukan milik kita, terkadang kita sembrono. Layar monitor computer kantor begitu dinyalakan yang muncul adalah foto kita atau anggota keluarga kita. Kertas seenaknya dibuang. Air di toilet mengalir terus juga tidak peduli. Meja atau kursi kantor berantakan atau tidak pada tempatnya seolah-olah bukan tanggungjawab kita. Bila diuraikan, hingga yang namanya duit kantor, terlalu panjang daftar ketidak-pedulian kita.
Apalagi di masjid. Air untuk wudhu berhamburan terbuang. Al Quran serta buku-buku agama berharga lainnya tak terurus dengan baik. Sampah pun adakalanya berserakan di halaman.
Pembaca yang budiman….
Saya berasal dari lingkungan keluarga yang kurang mampu. Meski demikian, almarhumah Ibunda kami yang buta huruf, selalu mengajarkan sikap bagaimana harus menghargai karya orang lain. Pagi-pagi, bila kami anak-anak ini tidak segera bangun tidur, Ibunda sudah membuka jendela. Tidak peduli apakah kami kedinginan atau tidak. “Bangun!” Kata beliau. Sehabis makan, bila piring tidak dicuci, beliau selalu bilang: “Kamu pikir siapa yang bakalan menyuci piringmu?” Jika kami pulang dari sekolah atau main, kemudian pakaian kami kotor sekali juga diingatkan: “Kamu tidak tahu susahnya menyuci dan menyeterika baju!” Dan lain-lain.
Sesudah besar, saya baru sadar, bahwa barangkali inilah bukti bahwa betapa besar cinta beliau kepada kami anak-anaknya. Sikap menghargai hasil kerja atau barang milik , apakah itu Ibu kita sendiri atau orang lain itu perlu. Yang demikian itu memang membutuhkan waktu. Karakter manusia dibina melalui sebuah proses yang panjang. Tidak sama seperti kita bikin mie instant.
Saya tidak menolak ada orang yang mengatakan bahwa apa yang saya rasakan adalah persoalan yang amat sepele dan tidak perlu dibesar-besarkan. Kebersihan dan pemeliharaan barang-barang, apakah itu rumah sendiri, hotel, pasar, fasilitas umum, bis, pasar, rumah kontrakan atau kantor, mushallah, masjid, acapkali tidak mendapatkan porsi yang semestinya.
Perhatian orang biasanya hanya tertuju pada hal-hal yang besar, tanpa menyadari bahwa sebuah jarum kecil yang murah sekali harganya, ternyata tidak dapat disepelakan. Terkadang kita membutuhkannya hanya untuk memasukkan SIM Card hand phone yang harganya di atas Rp 5 juta. Debu-debu lembut yang dibiarkan bakal menumpuk dan bisa mengganggu dan bahkan dapat membahayakan keselamatan nyawa penumpang pesawat. Jadi, tidaklah bijak jika memperlakukan sesuatu yang nampaknya remeh.
Yang saya ingin garisbawahi adalah bahwa keberhasilan seseorang dalam banyak hal itu dimulai dari yang kecil-kecil. Kita tidak dapat mengatakan bahwa seorang sekretaris bekerja dengan baik ketika di drawer meja kerjanya ternyata alat-alat kantor dan kertas-kertas kecil berantakan. Sekalipun tidak kelihatan orang.
Bagaimana bisa mengatakan bahwa kita adalah umat Islam yang baik jika buang sampah sembarangan, penggunaan air wudhu berlebihan, kurang pandai memelihara barang-barang milik orang lain, perusahaan atau negara, dll? Betapapun menjalankan ibadah puasa, salat, zakat adalah rutinitas.
Sebenarnya, dalam banyak kesempatan, kita berlimpah dengan fasilitas. Sayangnya,kita kurang pandai bersyukur. Bentuk syukur yang dimaksud di sini adalah menjaga amanah, memeliharanya. Kita mestinya memegang erat apa yang orang Barat sebut sebagai Sense of Belonging (rasa memiliki).
Sebetulnya cara mengasah sensitivitas, rasa memiliki ini amat mudah. Pertama, utamakan team work. Dalam team work, berbagilah tugas. Membiasakan berbagai tugas merangsang lahirnya tanggungjawab kerja. Apakah itu di rumah, sekolah, kantor, bahkan di masjid.
Kedua, biasakan bertanya kepada anggota team work yang dekat dengan anda: “Apa yang bisa saya bantu?” Pertanyaan semacam ini, selain menunjukkan jiwa kreatif juga kesediaan membantu yang bisa dipandang mulia oleh orang lain.
Ketiga, jangan segan-segan mengevalusi diri dengan bertanya kepada salah satu anggota dalam team tentang sikap atau tindakan anda yang tidak atau barangkali kurang mereka sukai. Sikap ini akan menunjukkan kebesaran jiwa anda serta menghindarkan kesan bahwa anda orang yang angkuh atau sombong. Selain itu, mengevaluasi diri dengan bertanya kepada orang lain merupakan sikap terbuka yang amat positif.
Tiga tip praktis ini, tidak gampang diterapkan, kecuali anda memiliki kemauan untuk melakukannya. Bahwa sense of belonging atau yang biasa disebut sikap rasa memiliki, adalah bagian sikap utama, yang memberikan keuntungan kepada diri kita sendiri.
Dalam ajaran Islam, sikap ini amat terpuji. Di mata manusia, juga dalam pandangan Allah SWT. Wallahu a’lam!
Doha, 17 June 2011
Shardy2@hotmail.
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment