Dia adalah Seorang syaikh, imam, mempunyai banyak ilmu, panutan umat, syaikh Al Islam Abu Al Abbas Ahmad bin Abdullah AlLakhmy Al Maghribi Al Fasi Al Muqri’ An-Nasikh bin Al Huthai‘ah. Lahir di kota Fas (sebuah daerah di Maroko) pada tahun 478 H.
Dia pernah masuk dan berziarah ke kota Syam, tinggal di Mesir, dan menikah. Dia hidup dari hasil tulisan di atas kertas. Mengajarkan istri dan anaknya cara menulis, maka keduanya dapat menulis sepertinya. Dia pernah mengambil sebuah kitab, kemudian membaginya untuk dirinya dan anak istrinya. Keduanya menyalin sebagian isi kitab dan tidak dapat membedakan antara tulisan-tulisan kecuali sedikit saja. Dia menetap di masjid Rasyidah di luar wilayah Mesir dan jauh dari penduduknya, sampai merasakan kenyamanan di tempat tersebut dan besar keyakinannya. Dia tidak menerima sesuatu dari seorang pun. Dia hidup dengan ilmu, usaha, perasaan takut dan keikhlasan. Dia menyusun hukum kaidah bahasa Arab dan ilmu fikih. Tulisan dia disukai karena keindahannya dan keberkatannya.
Suatu ketika hujan turun di Mesir, tidak sedikit orang berusaha untuk memberikan sesuatu kepadanya, tetapi dia menolaknya dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Kemudian Al Fadhl bin Yahya meminang putrinya, dan menikahinya. Ia meminta dia memerintahkan ibunya untuk menenangkan putrinya, dia pun melakukannya. Alangkah indahnya kelembutan orang yang berada dalam kasih sayang Abu Al Abbas.
As-Salafi berkata, “Ibnu Al Huthai’ah adalah seorang ulama pemimpin ilmu qiraat. Aku pernah membaca tulisan Abu At-Thahir bin Al Anmathi berkata, ‘Aku mendengar guru kami Syuja’ Al Mudhaji –dia termasuk hamba pilihan Allah SWT- berkata, ‘Guru kami Ibnu Al Huthai’ah sangat kokoh dalam membela agama Allah SWT, bersikap keras dan berhati kasar terhadap musuh-musuh Allah SWT. Pernah hadir di majlis dia seorang pemuka para da’i122 dengan keagungan jabatannya dan besar pengaruhnya, dia tidak sedikitpun segan kepadanya, dan tidak juga menghormatinya, seraya berkata, ‘Orang yang paling bodoh dalam masalah ini dan itu adalah kelompok Rafidhah, mereka telah berpaling dari ajaran kitab dan sunnah, mereka juga telah kufur kepada Allah SWT’.”
Aku pernah bersamanya di masjidnya di Mesir, dan di situ hadir pula sebagian menteri-menteri Mesir. Aku mengira dia adalah Ibnu Abbas. Dia meminta untuk disuguhi minuman di majlisnya, kemudian datanglah salah seorang anaknya dengan membawa tempat minum dari perak. Ketika Ibnu Al Huthai’ah melihatnya, dia meletakkan tangannya di atas dadanya sambil berteriak dengan suara keras yang memenuhi seluruh masjid, dan berkata sambil mengarahkan wajahnya kepadaku, ‘Apakah di majlis yang di dalamnya dibacakan hadits Rasulullah SAW engkau akan minum dengan tempat dari perak? Tidak, demi Allah, jangan kau lakukan.’ Akhirnya dia mengusir anaknya kemudian keluar, dia meminta cangkir biasa, dan datanglah cangkir yang dimintanya yang telah retak. Dia pun minum dan aku merasa malu padanya. Demi Allah aku melihatnya seperti yang ada dalam firman Allah SWT,
“Diminumnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya.” (Qs. Ibraahiim [14]: 17).
Al Mudhaji berkata, “Telah datang seseorang kepada syaikh kami Ibnu Al Huthai’ah dengan mengenakan kain penutup, ia bersumpah akan menceraikan istrinya sebanyak tiga kali dan dia harus menerimanya. Dia menjelekkan perbuatan tersebut dan berkata, ‘Gantungkan orang ini di atas tiang itu. Ia tetap tergantung di atas tiang itu sampai akhirnya ia dimakan oleh ngengat dan terjatuh. Dia bekerja sebagai penyalin tulisan dengan imbalan, dan setiap tahunnya dia mendapat upeti sebanyak tiga dinar. Tidak sedikit para petinggi kerajaan mengusulkan agar upahnya ditambah, tetapi selalu ditolaknya. Kepribadian dia mendapat tempat di hati mereka walaupun banyak yang menghina mereka, hal itu tidak terjadi pada orang selain dirinya. Mereka mengusulkan dia jabatan qadhi di Mesir, maka dia pun berkata, ‘Demi Allah aku tidak akan menjadi qadhi mereka...sampai akhirnya Syuja’ Al Mudhaji berkata, ‘Dia menulis kitab Shahih karya Imam Muslim seluruhnya dengan satu pena. Aku mendengarkan dia dan juga dikatakan kepadanya, ‘Fulan telah dikaruniai nikmat dan perut yang besar. Maka dia berkata, ‘Mereka iri dari bersikap meragukan sampai menafikan. Aku selalu mendengar dia apabila disebut nama Umar bin Khattab RA. dia berkata, Kebahagiaan umat Islam terjamin di tangan Umar.
Aku membaca tulisan Ibnu Al Anmathi, guru kami Syuja’ berkata kepadaku, ‘Syaikh Abu Al Abbas telah berjanji pada dirinya untuk mengurangi makan yang sampai pada batas kewajaran. Dia heran pada orang yang makan sampai tiga puluh suapan.’
Syuja’ bercerita kepada kami bahwa istri Al Abbas telah melahirkan untuknya seorang anak perempuan, ketika anaknya telah dewasa, dia membacakan kepadanya tujuh kitab hadits, ia membaca kitab As-Shahihain dan kitab lainnya di hadapannya. Dia banyak menulis kitab dan mempelajari banyak ilmu kepadanya.
Aku berkata, “Ibnu Al Huthai’ah wafat pada tahun 560 H. Dia dikubur di pekuburan umum, dan kuburannya ditutupi kain.”
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment