Bisul di Kening Pak Ustaz
Cerpen Zaenal Radar T
"Sujud yang sempurna itu menempelkan kening di atas sajadah. Nah, ane? Udah sebulan ini nggak pernah sujud benar-benar menempelkan kening di atas sajadah," keluh ustadz Sobrak melalui HP kepada Zack, temannya yang jadi sutradara sinetron 'religius'.
"Sabar Ustadz. Ustadz kan pernah bilang, bahwa semua penyakit asalnya dari Tuhan. Dan nggak ada penyakit yang nggak bisa disembuhkan," jawab sang sutradara.
"Tapi Zack, ane bingung. Udah berobat ke mana-mana, tapi nggak sembuh-sembuh juga! Gimana ya Zack. Kayaknya ane perei syuting dulu deh." "Wah, gimana dong!? Usatdz kan udah tanda tangan kontrak?"
"Ane malu, Zack! Bisul ane ini udah nggak bisa ditutupin kopiah lagi! Kagak mungkin kan, ane lepas kopiah terus ngumpetin bisul di depan kamera." Di ujung HP, si sutradara tersenyum simpul, "Ya udah, kalo begitu Ustadz nggak usah ikut syuting dulu. Nanti saya akan lapor ke orang unit, untuk sementara ente diganti sama ustadz yang lain aja."
Akhirnya ustadz Sobrak benar-benar perei syuting. Habis mau bagaimana lagi. Seandainya beliau nekad datang, beliau tidak mungkin bisa menyembunyikan bisulnya di depan orang-orang. Ustadz akan bingung menjawab pertanyaan kru tentang keadaan keningnya yang tertutup rapat, bila ia benar-benar ke lokasi syuting, ustadz Sobrak pun memikirkan kemungkinan pertanyaan yang akan ditujukan padanya,
"Ustadz... kok tumben shalatnya nggak jamaah?"
"Ustadz, biasanya di-make-up sama penata rias, nggak make up sendirian kayak gini?"
"Ustadz, pecinya kok kayak ada batunya?"
Jelas saja ustadz Sobrak merasa risih bila nantinya mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sebab, semua orang, selain Zack, si sutradara yang masih sahabatnya itu, memang tidak ada yang tahu bila di balik pecinya tumbuh bisul.
Di rumah, keluarganya juga belum tahu. Ayah dan ibunya, adik-adiknya, tidak tahu bila sang ustadz punya bisul di kening. Tapi sebentar lagi ustadz Sobrak akan berterus terang pada mereka. Itu pun kalau mereka mau bicara padanya. Sebab, sejak ustadz main sinetron berbungkus religius itu, keluarga ustadz agaknya menjauhi dirinya. Mereka mengaku tidak suka pada keputusan ustadz Sobrak turut main sinetron.
Ustadz Sobrak menerima main sinetron karena merasa mendapat panggilan jiwa. Ingin memberikan tontonan alternatif buat pemirsa televisi, yang dianggap cuma bisa menyuguhkan tayangan percintaan remaja dan cerita perebutan harta keluarga. Selain itu, bukankan para ustadz dan kiai terkemuka juga ikut ambil bagian di banyak sinetron bertema religius?
Keluarga ustadz Sobrak tidak mau menerima alasan yang disampaikannya. Menurut mereka, sinetron-sinetron bertema religius di televisi banyak yang menyesatkan. Termasuk yang dimainkan oleh ustadz Sobrak sendiri. Pak Haji Muntaha, orangtua ustadz Sobrak, memberikan contoh sisi buruk beberapa tayangan sinetron yang bertema religius itu,
"Coba, Sob, lu bayangin aja..., mana bisa seseorang yang sudah meninggal dunia bisa menjadi pengantin! Bukankah syarat menikah itu harus ada mempelai? Bukan mayitnya? Dan, mana bisa mayit bisa memberikan anak pada istrinya yang rela menikah dengan suaminya yang mayit itu! Sinetron apaan kayak gitu?!"
"Iya tuh, Beh!" kali ini Safira, adik sang ustadz, ikut berkomentar, "Coba deh bayangin aja. Kiai baca tasbih bisa meledakkan buaya? Orang sakit dipukul daun kelor terus wajahnya keluar bercak-bercak yang katanya susuk! Malaikat digambarkan berambut panjang dan sakti mandraguna!"
"Belum lagi mayat yang mental ke got! Mayat kebakar! Mayat dilangkahi kucing! Orang terjepit kuburan!" ibu ustazd Sobrak ikut komentar. "Itu kan peringatan bagi pemirsa tentang azab Allah, Pak, Bu...," sang ustadz membela diri.
"Apa hak kalian tentang azab! Bukankah soal azab itu urusan Allah? Bukan urusan manusia seperti kita? Dan bukankah Allah maha pengampun lagi maha penyayang?"
"Benar Pak, Bu, tapi...."
"Jangan-jangan kalian juga nantinya akan diazab karena memperlihatkan tontonan yang tidak benar! Yang banyak dibumbui tambahan dari fikiran kalian sendiri!" potong Haji Muntaha, sambil menghela nafas berat.
Ketika itu ustadz Sobrak menunduk. Tetapi bukan berarti ia berhenti ikut ambil bagian dalam sinetron yang sudah ia tandatangani kontraknya.
Mengingat semua itu, ustadz Sobrak mulai merasa khawatir soal bisul di keningnya. Mau mengaku pada keluarga, takut disangka mendapat azab Tuhan. Tidak mengadu, ia hanya bisa mengurung di kamarnya, karena malu memperlihatkan 'telur puyuhnya'.
"Kamu kok nggak shalat jamaah di masjid lagi, Sob?" disuatu waktu sang ibu bertanya pada ustadz Sobrak.
"Lagi nggak enak badan, Bu."
"Kenapa kamu nggak ke dokter?"
"Sudah. Tapi belum sembuh."
"Kamu sakit apa? Itu kening kamu kok dibungkus begitu?" ibu sang ustadz mendesak.
Ustadz Sobrak kebingungan. Apakah ia harus berbohong pada sang ibu? Lalu Ustadz membuka keningnya. Maka terlihatlah bisul itu! Ibu sang ustadz melongo.
Keluarga Ustadz Sobrak menjadi gempar setelah tahu bisul itu. Mereka menduga ustadz Sobrak mendapat azab Tuhan. Mereka menyarankan sang ustadz bertaubat. Berhenti bermain sinetron yang penuh kuburan itu. Dan beberapa pekan kemudian, ketika ustadz Sobrak tidak berangkat syuting, bisul dikeningnya kempis. Lenyap tak berbekas!
Keluarga ustadz Sobrak tentu saja senang.
"Alhamdulillah. Mungkin Allah mendengar doa-doa kita!" ujar Haji Muntaha dengan wajah berkaca-kaca.
"Tapi, Beh, ane masih punya hutang kontrak sama rumah produksi enam episod lagi. Ane diminta main lagi."
"Ente mau syuting lagi?"
"Seenggak-enggaknya sampai kontraknya habis, Beh."
Anggota keluarga lain cuma bisa menghela nafas berat mendengar pengakuan ustadz Sobrak.
Setelah syuting satu episode berikutnya, ternyata ustadz Sobrak mengundurkan diri dari sinetron yang kontraknya sudah ditandatangani itu. Produser dan sutradaranya resah. Mereka bingung pada keputusan ustadz Sobrak.
Namun, pada akhirnya, Zack, sutradara yang masih sahabatnya ustadz Sobrak, mau mengerti pada keputusan tersebut. Sebab, Zack sudah mendapat penjelasan langsung dari sang ustadz.
"Saya sudah mendengar keluhan ustadz Sobrak yang sesungguhnya, Pak," ujar Zack, pada sang produser yang tengah pusing.
"I nggak mau tau, Zack! Kalo ustadz Sobrak nggak mau main lagi, susah cari gantinya! You tahu sendirilah, gara-gara diganti pemain lain, rating sinetron kita merosot terus! Selain itu, ustadz Sobrak kan pintar improvisasi. Bahkan dia bisa menambah-nambah cerita dari cerita asli. Nah, sekarang, kalo dia mengundurkan diri, kita akan kerepotan. Belum lagi masalah kita soal bahan cerita. Kita sudah kehabisan stock cerita. Semua azab kubur sudah kita ambil. Semua azab durhaka kita sudah take. Sampai-sampai orang yang durhaka terhadap kucing, anjing.... Bagaimana dong, Zack?" "Tenang Pak Produser. Nanti saya akan usahain bujuk ustadz Sobrak. Tapi masalahnya, ustadz Sobrak sedang sakit."
"Sakit? Kan tempo hari you bilang udah sembuh. Sakit apa sih dia sekarang?"
"Biasa, Pak. Bisul."
Produser tersentak. Baru kemarin sore produser mendengar dari Zack bila kening ustadz Sobrak pernah bisulan. Dan sekarang?
"Bisul? Bukannya you bilang tempo hari ustadz sembuh dari bisulan?"
"Itu yang dikening, Pak. Sekarang yang dilutut! Bisulnya pindah ke lutut!"
"Ha ha ha!" tiba-tiba Pak Produser tertawa terbahak-bahak. Sang sutradara kebingungan.
"Kok, Bapak malah ketawa?"
"Ha ha ha! Tulis itu! Tulis! Kita bikin ceritanya. Ini kisah nyata! Benar-benar nyata! Dan jangan ditambah-tambah atau dikurangi!"
"Maksud Bapak?"
"Suruh penulis skenario bikin cerita tentang bisul di lutut Pak Ustadz!"
"Pak...!?" Zack bingung.
"Ayo cepat! Kita kan harus syuting besok!"
Sutradara hanya garuk-garuk kepala. Lalu ia menghubungi penulis skenario. Tapi ia salah pencet. Telponnya nyasar ke HP Ustadz Sobrak. Pada akhirnya sutradara terlanjur mengobrol dengan ustadz Sobrak. Ustadz mengeluh tentang bisulnya yang semakin parah. Sutaradara tersenyum dan bersorak dalam hati mendengar cerita ustadz Sobrak. Karena, dengan begitu, bahan cerita sinetronnya nanti akan terus bertambah!
http://theant-budiana.blogspot.com/2012/01/cerpen-bisul-di-kening-pak-ustad.html
No comments:
Post a Comment