forum-buku.blogspot.com - Horace F Dunkins mengalami proses mati menyakitkan selama 19 menit ketika kursi listrik yang mencabut nyawannya rusak di Alabama.
Jesse Tafero, terpidana atas tuduhan pembunuhan, dieksekusi mati menggunakan kursi listrik di Florida, Amerika Serikat, Jumat 4 Mei 1990. Namanya masuk dalam buku sejarah ketika proses eksekusi tidak berjalan lancar. Kursi listrik rusak tiga kali dan menyebabkan api muncul di atas kepala pria berusia 43 tahun itu.
Kematian dengan cara ini mengundang perdebatan atas metode hukuman mati. Beberapa negara bagian di AS kemudian berhenti menggunakan fasilitas kursi listrik dan memilih penggunaan suntik mati.
Di akhir abad 20, penggunaan kursi listrik semakin sulit karena dua faktor: kesulitan menemukan algojo dan teknisi yang bisa memperbaiki kursi tersebut. Namun, penggunaan suntik mati pun juga mengundang kontroversi karena hanya segelintir orang yang paham cara meracik obat hingga menyebabkan orang lain tewas dengan cara cepat.
Jika salah dilakukan, obat kombinasi kelumpuhan dan dosisi tinggi dari potassium chloride bisa menyebabkan lumpuh. Membuat si terpidana tewas dengan cara menyakitkan.
Bukan cuma Tafero yang tewas dengan cara tidak manusiawi. Terpidana lain Horace F Dunkins, juga mengalami nasib sama ketika kursi listrik yang mencabut nyawanya rusak di Alabama. Butuh waktu 19 menit untuk Dunkins tewas. Terpidana Allen Lee "Tiny" Davis yang berbobot 156 kilogram bahkan berteriak kesakitan dengan darah mengucur ke baju ketika eksekusi dengan kursi listrik di Florida tahun 1998. Menurut pihak berwenang, darah itu berasal dari hidung Davis.
Penggunaan suntik mati yang kini lebih populer juga mengalami kendala logistik. Dilansir dari Kompas, Jumat (4/5) para petinggi di Oklahoma City mengalami penipisan stok pentobarbital, obat suntik untuk hukuman mati. Oklahoma adalah negara bagian yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati per kapita dibandingkan negara bagian lain di AS. Cadangan obat pentobarbital mereka saat ini hanya tinggal satu ampul.
Kelangkaan ini terjadi karena Uni Eropa melarang penjualan obat tersebut karena tidak setuju dengan hukuman mati. Oklahoma tinggal memiliki satu stok pentobarbital setelah eksekusi mati Michael B Selsor awal pekan lalu.
(Zika Zakiya. Sumber: The History Channel, Kompas)
[source]
Kematian dengan cara ini mengundang perdebatan atas metode hukuman mati. Beberapa negara bagian di AS kemudian berhenti menggunakan fasilitas kursi listrik dan memilih penggunaan suntik mati.
Di akhir abad 20, penggunaan kursi listrik semakin sulit karena dua faktor: kesulitan menemukan algojo dan teknisi yang bisa memperbaiki kursi tersebut. Namun, penggunaan suntik mati pun juga mengundang kontroversi karena hanya segelintir orang yang paham cara meracik obat hingga menyebabkan orang lain tewas dengan cara cepat.
Jika salah dilakukan, obat kombinasi kelumpuhan dan dosisi tinggi dari potassium chloride bisa menyebabkan lumpuh. Membuat si terpidana tewas dengan cara menyakitkan.
Bukan cuma Tafero yang tewas dengan cara tidak manusiawi. Terpidana lain Horace F Dunkins, juga mengalami nasib sama ketika kursi listrik yang mencabut nyawanya rusak di Alabama. Butuh waktu 19 menit untuk Dunkins tewas. Terpidana Allen Lee "Tiny" Davis yang berbobot 156 kilogram bahkan berteriak kesakitan dengan darah mengucur ke baju ketika eksekusi dengan kursi listrik di Florida tahun 1998. Menurut pihak berwenang, darah itu berasal dari hidung Davis.
Penggunaan suntik mati yang kini lebih populer juga mengalami kendala logistik. Dilansir dari Kompas, Jumat (4/5) para petinggi di Oklahoma City mengalami penipisan stok pentobarbital, obat suntik untuk hukuman mati. Oklahoma adalah negara bagian yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati per kapita dibandingkan negara bagian lain di AS. Cadangan obat pentobarbital mereka saat ini hanya tinggal satu ampul.
Kelangkaan ini terjadi karena Uni Eropa melarang penjualan obat tersebut karena tidak setuju dengan hukuman mati. Oklahoma tinggal memiliki satu stok pentobarbital setelah eksekusi mati Michael B Selsor awal pekan lalu.
(Zika Zakiya. Sumber: The History Channel, Kompas)
[source]
No comments:
Post a Comment