Dia adalah penguasa Andalusia, Al Mu’tamid Alallah Abu Al Qasim Muhammad bin Al Malik Al Mu’tadhid Billah Abu Amr, Abbad bin Azh-Zhafir Billah Abu Al Qasim, seorang hakim Sevilla kemudian menjadi raja. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ismail bin Quraisy AlLakhmi.
Al Mu’tamid menguasai dua kota Cordoba dan Sevilla. Asal keluarganya dari Syam, dari wilayah Al ‘Arisy. Abu Al Walid Ismail bin Quraisy masuk ke Andalusia, menjadi ulama fikih, menjabat sebagai hakim dan memerintah beberapa waktu saja. Putranya Al Mu’tadhid menggantikannya dan berhasil menguasai kerajaan Sevilla. Orang-orang membai’atnya sebagai raja pada tahun 433 H.
Al Mu’tadhid adalah seorang yang dermawan, keras dan licik. Dia membunuh sejumlah pendukung ayahnya dan mengasingkan mereka. Seluruh rakyatnya tunduk kepadanya.
Istananya dihiasi dengan kayu dan ia memperlihatkannya kepada para pejabat dan raja. Rakyatnya menyamakannya dengan Al Manshur dari dinasti Abbasiyah. Anaknya Ismail ingin memberontak. Al Mu’tadhid menumpasnya dan menyerahkan kekuasaan kepada anaknya Al Mu’tamid.
Sebuah pendapat mengatakan bahwa seorang penguasa Eropa meracunnya dengan pakaian mewah yang dihadiahkan kepadanya.
Di antara bukti kesewenang-wenangan dan kezhaliman Al Mu’tadhid adalah ia mengambil harta dari seorang yang buta. Orang buta tersebut pergi haji dan tinggal di Makkah. Sebuah berita sampai ke Al Mu’tadhid bahwa orang buta itu berdoa agar Al Mu’tadhid dimusnahkan. Kemudian dia mengutus seorang utusan untuk memberikan sejumlah uang dinar yang diolesi dengan racun kepada orang buta tersebut. Utusan itu bertolak menuju Makkah dan menyampaikan uang emas tersebut. Orang buta itu berkata, “Dia menzhalimi aku di Sevilla dan sekarang memberikankku ini!” Dia menaruh satu dinar dari uang emas tersebut di mulutnya –seperti yang biasa dilakukan oleh orang buta lainnya- dan keesokan harinya ia meninggal.
Pada suatu malam Al Mu’tadhid mabuk. Pada malam itu dia keluar dan ditemani oleh seorang pengawal. Dalam keadaan mabuk dia berjalan hingga sampai di Qarmunah.10 Penguasa Qarmunah adalah Ishaq Al Birzal. Banyak terjadi peperangan antara Al Mu’tadhid dan Ishaq. Ishaq juga mabuk bersama sekelompok orang. Al Mu’tadhid meminta izin masuk dan mereka bertambah heran. Al Mu’tadhid menyalami mereka, makan dan berjalan sempoyongan karena mabuk. Al Mu’tadhid berkata, “Aku ingin tidur.” Mereka menyiapkan tempat tidur dan dia pura-pura tertidur. Di antara mereka berkata, “Ini kambing yang gemuk. Demi Allah jika kalian berikan kekuasaan Andalusia kepadanya, kalian takkan mampu.” Mu’adz bin Abu Murrah berkata, “Tidak, pria ini datang kepada kita dengan meminta perlindungan. Jangan sampai kabilah-kabilah membicarakan tentang kita bahwa kita telah membunuhnya.” Kemudian Al Mu’tadhid terbangun dan mereka menciumi kepalanya. Dia bertanya kepada Al Hajib, “Kita ada di mana?” Dia menjawab, “Ada di antara keluarga dan saudaramu.” Dia berkata, “Berikan aku tempat tinta!” kemudian ia menuliskan sesuatu bahwa setiap mereka akan mendapatkan uang, kuda dan pembantu. Dia mengajak anak buah mereka untuk mengambil hadiah itu. Dia naik tunggangan dan mereka berjalan. Sayangnya, ketika Al Mu’tadhid mengundang mereka dalam sebuah pesta, sebanyak enam puluh orang di antara mereka datang. Al Mu’tadhid menyambut mereka dan menempatkan mereka di kamar mandi dan menumpas mereka kecuali Mu’adz. Dia berkata kepada Mu’adz, “Ajal mereka telah tiba. Jika bukan karena kamu, mereka sudah membunuhku. Jika kamu ingin aku membagi kekuasaanku, aku akan lakukan itu.” Mu’adz berkata, “Aku tinggal bersamamu, jika tidak demikian di mana mukaku ketika aku pulang. Kamu telah membunuh para pemimpinku Bani Birzal.” Al Muqtadhid menjadikan Mu’adz salah satu panglimanya dan ia adalah salah satu panglima terbesarnya.
Al Mu’tadhid tewas pada tahun 464 H.
Seorang penyair bernama Abu Bakar Muhammad bin AlLabbanah berkata, “Al Mu’tamid memiliki dua ratus permaisuri dari seluruh negeri. Dia mempunyai 173 anak. Dalam sehari di dapur istana terdapat delapan jembatan daging. Dia memiliki 18 sekretaris.”
Ibnu Khallikan berkata, “Kekuasaan Alfonso menguat. Raja-raja di Andalusia mengajak damai dengannya dan membayar banyak pajak kepadanya. Dia menguasai Thulaithilah dari tangan Al Qadir bin Dzu An-Nun pada tahun 478 Hijriyyah setelah pengepungan sengit. Peristiwa itu adalah awal kelemahan pasukan muslim karena kedatangan pasukan Eropa. Al Mu’tamid juga ikut membayar pajak. Namun ketika kedudukannya cukup kuat, ia menolak membayar pajak. Alfonso menebar ancaman dan memaksa Al Mu’tamid untuk menyerahkan beberapa benteng. Dia membunuh utusan dan orang yang mengawalnya, dan mulai bergerak. Para ulama berkumpul, mereka sepakat untuk memberi mandat kepada Amir Abu Ya’qub bin Tasyifin penguasa Marakusy untuk menolong mereka. Ibnu Tasyifin bersama tentaranya melintas menuju Andalusia dan bergabung dengan Al Mu’tamid. Alfonso bertolak bersama empat ribu pasukan berkuda dan menulis surat ancaman kepada Ibnu Tasyifin. Di menulis di balik surat tersebut, “Yang terjadi akan kau lihat.” Kemudian kedua pasukan bertemu, saling menyerang di daerah Zallaqah (sebuah wilayah di Andalusia) yang masih masuk wilayah tanah Pathalius.11 Pasukan musuh berhasil ditaklukkan, kebanyakan luka-luka dan hanya sedikit yang selamat. Perang itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun 479 H. Al Mu’tamid terluka di badan dan wajahnya. Dia dikenal dengan sikap pantang mundur dan keberaniannya. Pasukan muslim mendapatkan banyak harta rampasan dan Ibnu Tasyifin pun kembali ke daerahnya.
Ibnu Tasyifin melintas ke jazirah Andalusia pada tahun berikutnya dan bertemu dengan Al Mu’tamid. Keduanya mengepung sebuah benteng milik orang Eropa. Ibnu Tasyifin bergerak dan melintasi kota Granada. Penguasa Granada Ibnu Bulukkin keluar menemui Ibnu Tasyifin dan memberinya hadiah. Setelah menguasai istana Ibnu Bulukkin, Ibnu Tasyifin kembali ke Marakusy. Andalusia dengan keindahan tamannya menyilaukan pandangan Ibnu Tasyifin.
Abdul Wahid bin Ali berkata, “Al Mu’tamid menguasai Cordoba pada tahun 471 H dan berhasil mengusir Ibnu Ukasyah. Ibnu Tasyifin keluar ke Andalusia dengan mengagungkan Al Mu’tamid dan menyembunyikan beberapa hal seraya berkata, ‘Kami adalah tamunya, kami mengikuti perintahnya.’ Ibnu Tasyifin mendukung orang-orang Murabithun yang tinggal di Andalusia. Orang Andalusia menyayanginya dan mendoakan kebaikan untuknya. Dia menjadikan mereka kerabatnya dan menetapkan beberapa hal. Pada tahun 483 Hijriyyah terjadi fitnah di Andalusia. Orang Murabithun mengepung benteng-benteng Al Mu’tamid dan menguasai sebagiannya. Mereka membunuh putra Al Mu’tamid yang bernama Al Makmun pada usia empat tahun. Fitnah semakin menjadi. Kemudian mereka mengepung Sevilla. Tampak dari pihak Al Mu’tamid kegentingan yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Pada bulan Rajab orang Murabithun menyerang wilayah Al Mu’tamid dengan perang yang sengit. Mereka mengusir penduduk negeri itu dan menawan Al Mu’tamid.”
Abdul wahid berkata, “Al Mu’tamid nampak dari istananya sedang mengenakan mantel, ia mengenakannya tanpa memakai baju pelindung dan di tangannya terdapat sebilah pedang. Seorang prajurit berkuda melempar tombak ke arah Al Mu’tamid dan mengenai mantelnya. Al Mu’tamid memukul prajurit itu dan mengalahkannya. Pada waktu Ashar, orang-orang Barbar muncul dari arah lembah. Mereka melempar api ke arah negeri. Aktifitas terhenti. Kebakaran meluas di mana-mana dengan datangnya keponakan Sultan. Orang Barbar tidak meninggalkan apapun bagi penduduk negeri itu. Istana Al Mu’tamid dijarah. Al Mu’tamid dipaksa untuk menulis kepada kedua putranya agar mereka menyerahkan dua benteng, jika tidak, dirinya akan dibunuh, “Darahku menjadi jaminannya.” Kedua putra itu adalah Al Mu’tadd dan Ar-Radhi yang berada di Rundah dan Martilah. Keduanya turun dengan selamat. Sayangnya, itu semua adalah perjanjian palsu. Mereka membunuh Al Mu’tadd dan Ar-Radhi. Mereka membawa Al Mu’tamid dan keluarganya ke Thanjah setelah mereka dibuat miskin. Al Mu’tamid dipenjara di Aghmat12 selama lebih dari dua tahun dalam keadaan sengsara dan hina.
Sebuah pendapat mengatakan bahwa putri-putri Al Mu’tamid mendatanginya pada hari Id. Mereka menjahit dalam kegelapan untuk mendapatkan upah. Dia melihat mereka dalam pakaian compang-camping. Keadaan mereka menyedihkan hatinya. Dia berkata,
Dulu kamu bahagia dalam setiap hari Id
Id kali ini sungguh buruk tertawan di Aghmat
Kau lihat putri-putrimu kelaparan dalam kepedihan
Mereka menjahit untuk orang dan tak punya apa-apa
Mereka tampak di hadapanmu untuk menyerah dengan tenang
Pandangan mereka payah terpecah-pecah
Mereka berjalan di tanah dengan telanjang kaki
Seakan-akan mereka tak berjalan dalam keharuman kasturi
Al Mu’tamid lahir pada tahun 431 Hijriyyah dan meninggal pada tahun 488 H. Ibnu AlLabbanah memberi nama Bani Al Mu’tamid dengan nama dan julukan mereka. Dia menghitung Al Mu’tamid mempunyai tiga puluhan putra dan 34 putri.----------------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment