Kerja keras dan ketekunan akan membuahkan keberhasilan. Suyatno, tukang becak asal Yogyakarta, telah membuktikannya. Salah satu anaknya diwisuda sebagai dokter di Universitas Gajah Mada (UGM).
SUYATNO menjadi bintang dalam pertemuan orang tua mahasiswa baru dan para pejabat UGM. Ribuan orang yang memadati Graha Sabha Pramana tertegun ketika mendengar penuturan laki-laki berusia 63 tahun ini.
Meski tak begitu lancar mengungkapkan jati dirinya, itu sudah cukup membuat tepuk tangan membahana.
‘’Sehari-hari saya mbecak, pekerjaan yang saya lakoni sejak 1975 dan sampai sekarang masih begitu,’’ ujar Suyatno lirih ketika berbicara di depan pejabat UGM dan orang tua mahasiswa baru.
Lantas, apa yang membuatnya istimewa dan menarik perhatian semua orang di sana?
‘’Anak saya masuk Fakultas Kedokteran tahun 2005 dan baru saja lulus. Kini tugas sebagai dokter di Wates, Kulonprogo,’’ tambahnya tetap dengan nada lirih.
Semua orang terdiam, hening dan sedetik kemudian aplaus panjang, siulan, dan teriakan kekaguman seakan meruntuhkan gedung nan megah itu. Suyatno tersenyum. Tukang becak yang biasa mangkal di depan Hotel Santika Yogyakarta ini berkaca-kaca.
Tak banyak yang dia ucapkan. Dia lantas berjalan pelan kembali ke tempat duduknya, sementara tepuk tangan terus menggema. Mulanya, dia akan memberikan testimoni. Namun kebanggaan, keharuan, dan suka cita berbaur menjadi satu membuatnya tak bisa banyak bicara.
Pembawa acara, Suryo Baskoro, lantas mengantar lelaki sepuh itu ke kursi depan di belakang deretan para pejabat UGM.
Begitu acara usai, Suyatno mengambil becaknya dan berniat pulang ke rumah.
Namun beberapa orang mencegat dan mengucapkan selamat pada lulusan Sekolah Rakyat (SR) 1962 ini. Tak sedikit yang berusaha menanyainya dan dia tak bosan-bosannya menjawab, lugu dan lugas.
Tetap
Anak bungsunya, Agung Bhaktiyar, sejak duduk di bangku SD memang cerdas. Bahkan hingga SMA, beberapa kali dia meraih ranking di sekolah. Tiga kakaknya merelakan diri putus sekolah setamat SMA untuk memberi kesempatan kepada Agung agar menjadi ‘’orang’’.
‘’Wis ben Agung wae sing sekolah,’’ ungkap Suyatno menceritakan sikap tiga anak lainnya, yang setelah lulus SMA langsung bekerja.
Anak sulung membantu ibunya, Saniyem —yang buta huruf— tiap hari berkutat dengan rongsokan di Pasar Terban, tak jauh dari rumahnya. Anak kedua menjadi tukang parkir di kompleks pertokoan KFC, sedangkan nomor tiga ikut suami merantau ke Medan.
Semua ikhlas tak melanjutkan sekolah. Di samping keterbatasan ekonomi, juga ingin agar Agung benar-benar sekolah setinggi mungkin biar kelak mengangkat derajat keluarga.
Keikhlasan mereka dan tetes keringat Suyatno membawa hasil. Tak sia-sia dia sepanjang hari mbecak sejak pukul 08.00 hingga tengah malam. Meski komunikasi dengan anak-anak sangat jarang, tiap ada kesempatan kumpul keluarga, Suyatno berpesan agar tak ada yang seperti bapaknya.
Anak-anak harus sekolah tinggi, jangan sampai buta huruf seperti ibunya.
‘’Masih mbecak kok, buat kegiatan dan olahraga. Kalau cuma di rumah nanti malah ngelangut dan tak bisa ngasih uang jajan cucu,’’ ujar Suyatno berseloroh.
Anak-anak memang melarangnya mengayuh becak lagi karena usia Suyatno sudah 63 tahun. Mereka menyarankan di rumah atau membantu istri berdagang rongsokan.
Tapi Suyatno yang selalu berusaha tersenyum, legawa dalam kondisi apa pun, tak mau berdiam diri. Keringat yang mengantarkan anaknya menjadi dokter tak bisa berhenti sampai dia berniat sendiri.(Agung PW-43,52). Sumber & Gambar : www.suaramerdeka.comsource : kisah-fakta.blogspot.com
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment