“Andaikata mereka belas kasihan, dan kami lenyapkan kemudaratan yang mereka alami, benar-benar mereka akan terus menerus terombang –ambing dala kekafiran mereka. (QS Al-mu’minun: 75)
Sebaik-baik manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang sempurna tidak akan bernilai bila tanpa ketakwaan kepada Allah SWT. Senantiasa beribadah, karena rasa takwanya kepada Allah SWT. Ketakwaan manusia kepada Allah SWT menjadi bekal dalam menghadapi lika-liku kehidupan di dunia. Hal ini dapat dipahami bahwa ketakwaan selain sebagai bentuk keta’atan kepada Allah SWT juga sebagai jalan untuk mendapatkan kehidupan yang maslahat dunia dan akhirat.
Ketika kita hidup dalam kondisi baik, ketakwaanpun akan baik juga. Namun seiring dengan berjalannya waktu, zaman yang semakin maju yang dipenuhi dengan prilaku amoral, Allah akan menguji ketakwaan seseorang dengan suatu musibah atau dengan suatu nikmat yang sangat melimpah, sehingga kadangkala kita terlelap dalam kekafiran. Namun daripada itu, sebagai eksistensi keberadaan manusia di dunia ini, ketika ditimpa cobaan yang sangat berat, kita harus tetap mensyukuri apa yang ada.
Meskipun kehidupan dipenuhi oleh warna-warni, tapi hendaknya kita menjadi orang yang memetik hikmah dari perbedaan tersebut. Musibah maupun nikmat tidak akan memberikan rasa beda di kala kita sudah mafhum terhadap kebijaksanaan Illahi karena tidak selamanya kenikmatan memberikan kebahagiaan ( bisa saja itu adalah sebuah ujian). Begitu pula sebaliknya, tidak selamanya musibah memberikan kesengsaraan jika kita mampu memetik hikmah yang terkandung didalamnya.
Kebaikan, kejahatan, nikmat , derita karunia, ujian, semuanya sama. Bukan hanya semua itu adalah hukum alam di mana manusia hidup di dalamnya, tapi juga kemaslahatan untuk manusia sendiri. Perbandingan yang tepat mungkin bisa dilihat dari sikap tegas dan lembut dari orang tua. Manakah di antara keduanya yang lebih maslahat bagi pendidikan anaknya? Jika hanya kelembutan yang diberikan, maka orang tua dianggap tidak memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Demikian pula apabila seseorang merasakan terus nikmat tanpa penderitaan, haruskah manusia menganggap buruk musibah kejahatan, penderitaan dari Tuhannya?
Jika kita telah mengetahui bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang mulia yang diciptakan-Nya, maka masihkah kita mengkontropersikan keMaha Adilannya? Sedangkan Dia Maha bijaksana. Wallahu a’lam.
source : mendulanghikmahdarikisah.blogspot.comSebaik-baik manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang sempurna tidak akan bernilai bila tanpa ketakwaan kepada Allah SWT. Senantiasa beribadah, karena rasa takwanya kepada Allah SWT. Ketakwaan manusia kepada Allah SWT menjadi bekal dalam menghadapi lika-liku kehidupan di dunia. Hal ini dapat dipahami bahwa ketakwaan selain sebagai bentuk keta’atan kepada Allah SWT juga sebagai jalan untuk mendapatkan kehidupan yang maslahat dunia dan akhirat.
Ketika kita hidup dalam kondisi baik, ketakwaanpun akan baik juga. Namun seiring dengan berjalannya waktu, zaman yang semakin maju yang dipenuhi dengan prilaku amoral, Allah akan menguji ketakwaan seseorang dengan suatu musibah atau dengan suatu nikmat yang sangat melimpah, sehingga kadangkala kita terlelap dalam kekafiran. Namun daripada itu, sebagai eksistensi keberadaan manusia di dunia ini, ketika ditimpa cobaan yang sangat berat, kita harus tetap mensyukuri apa yang ada.
Meskipun kehidupan dipenuhi oleh warna-warni, tapi hendaknya kita menjadi orang yang memetik hikmah dari perbedaan tersebut. Musibah maupun nikmat tidak akan memberikan rasa beda di kala kita sudah mafhum terhadap kebijaksanaan Illahi karena tidak selamanya kenikmatan memberikan kebahagiaan ( bisa saja itu adalah sebuah ujian). Begitu pula sebaliknya, tidak selamanya musibah memberikan kesengsaraan jika kita mampu memetik hikmah yang terkandung didalamnya.
Kebaikan, kejahatan, nikmat , derita karunia, ujian, semuanya sama. Bukan hanya semua itu adalah hukum alam di mana manusia hidup di dalamnya, tapi juga kemaslahatan untuk manusia sendiri. Perbandingan yang tepat mungkin bisa dilihat dari sikap tegas dan lembut dari orang tua. Manakah di antara keduanya yang lebih maslahat bagi pendidikan anaknya? Jika hanya kelembutan yang diberikan, maka orang tua dianggap tidak memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Demikian pula apabila seseorang merasakan terus nikmat tanpa penderitaan, haruskah manusia menganggap buruk musibah kejahatan, penderitaan dari Tuhannya?
Jika kita telah mengetahui bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang mulia yang diciptakan-Nya, maka masihkah kita mengkontropersikan keMaha Adilannya? Sedangkan Dia Maha bijaksana. Wallahu a’lam.
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment