Ngeri juga melihat pemandangan yang tergambar di sana. Menara yang tinggi namun baru setengah jadi dan tidak selesai dibangun. Mulai berlumut, kotor dan hanya menjadi sarang laba-laba. Sementara masih terlihat batu-batu besar, batu bata, semen, pasir, mesin pengaduk dan besi cor. Belum terlalu lama kita mendengar bisingnya pembangunan menara itu. Para ahli dan pakar arsitektur berkumpul di sana. Setiap pekerja melakukan tugasnya dengan baik, sehingga tidak mustahil kalau menara yang sedang dibangun itu bakal menjadi menara tertinggi di dunia, tentu saja melebihi menara Petronas atau WTC (World Trade Center) yang pernah disatroni teroris. Namun sayang secara tiba-tiba pembangunan itu berhenti dan menyisakan bahan material yang berserakan.
Apa pasal? Apa yang salah? Bukan cara membangunnya yang salah, tapi tujuannya yang keliru! Menara impian itu bukan dibangun untuk mengagungkan Tuhan, bukan juga untuk mencari Tuhan, bukan dibangun untuk mengajak orang memandang ke atas kepada Tuhan, bukan juga untuk menyediakan tempat berteduh dalam doa. Lalu menara itu dibangun untuk apa? Sebuah harian surat kabar paling purba menulis, “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit dan marilah kita cari nama!” Itulah penyebabnya! Menara itu dibangun untuk mencari kemegahan diri dan egoisme belaka! Semata-mata mencari nama. Menara yang dibangun atas batu kesombongan. Dilapisi dengan adukan keangkuhan!
Tuhan tidak menerima itu. Dulu tidak, sekarangpun tidak. Tidak ada proposal kemegahan diri serta kesombongan yang disetujuinya. Setiap keangkuhan selalu berakibat kehancuran, itu cerita klasik yang selalu bisa ditebak! Manusia diciptakan Tuhan bukan untuk mencari kemegahan diri dan seolah-olah bisa melakukan semuanya sendiri tanpa Dia. Bagaimanapun juga manusia selalu membutuhkan pertolongan dan penyertaan Tuhan di dalam hidupnya.
Apa yang kita bangun juga akan hancur, jika menara kita didasari dengan batu kesombongan atau kemegahan diri, sebaliknya menara kita akan tegak berdiri jika dibangun atas dasar batu kerendahan hati. Apakah menara kita teguh berdiri ataukah sebaliknya menjadi hancur dan meninggalkan puing reruntuhan?
Kesombongan akan selalu berujung pada kehancuran!
source : kisahmotivasihidup.blogspot.comApa pasal? Apa yang salah? Bukan cara membangunnya yang salah, tapi tujuannya yang keliru! Menara impian itu bukan dibangun untuk mengagungkan Tuhan, bukan juga untuk mencari Tuhan, bukan dibangun untuk mengajak orang memandang ke atas kepada Tuhan, bukan juga untuk menyediakan tempat berteduh dalam doa. Lalu menara itu dibangun untuk apa? Sebuah harian surat kabar paling purba menulis, “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit dan marilah kita cari nama!” Itulah penyebabnya! Menara itu dibangun untuk mencari kemegahan diri dan egoisme belaka! Semata-mata mencari nama. Menara yang dibangun atas batu kesombongan. Dilapisi dengan adukan keangkuhan!
Tuhan tidak menerima itu. Dulu tidak, sekarangpun tidak. Tidak ada proposal kemegahan diri serta kesombongan yang disetujuinya. Setiap keangkuhan selalu berakibat kehancuran, itu cerita klasik yang selalu bisa ditebak! Manusia diciptakan Tuhan bukan untuk mencari kemegahan diri dan seolah-olah bisa melakukan semuanya sendiri tanpa Dia. Bagaimanapun juga manusia selalu membutuhkan pertolongan dan penyertaan Tuhan di dalam hidupnya.
Apa yang kita bangun juga akan hancur, jika menara kita didasari dengan batu kesombongan atau kemegahan diri, sebaliknya menara kita akan tegak berdiri jika dibangun atas dasar batu kerendahan hati. Apakah menara kita teguh berdiri ataukah sebaliknya menjadi hancur dan meninggalkan puing reruntuhan?
Kesombongan akan selalu berujung pada kehancuran!
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment