Suatu senja , pada sebuah lingkaran beraroma surga, beberapa ibu terlibat pembicaraan hangat.
“Saat yang paling membuat saya terharu, adalah jika usai sholat qiyamul lail berjamaah dengan suami, lalu suami justru menyalami saya lebih dulu, terus berkata, ‘Maafkan abi ya ummi, belum bisa membahagiakanmu. Bahkan selama ini malah ummi yang sering menghandle saat bisnis abi tiba-tiba surut’…. Rasanya, sediiih banget, haru tapi juga risih, kok begini amat ya? Padahal kan sudah suami istri, lazimnya lah saling tolong-menolong”
Ungkapan seorang ibu, sebut saja Ibu Mawar, yang kadang memang bisnis suaminya pasang surut, dan Bu Mawar dengan legawa sebagai seorang guru menyerahkan seluruh penghasilannya pada suaminya. Suami bu Mawar kukenal sangat penyayang. Sering memberikan hadiah pada istrinya, meski tak mahal. Di luar itu, Bu Mawar adalah seorang penggerak dakwah yang semangat dan tenaganya nyaris tak ada habisnya.
“Berarti itulah jodoh. Ibu diberikan suami yang pas, sangat penyayang tapi juga ada saatnya ibu yang bersedekah untuk suami. Dan itu pahala besar. Bisa menjadi amalan unggulan kelak di yaumil akhir” kata temannya, Bu Kenanga.
Aku hanya mampu tertegun, antara takjub dan iri dengan bu Mawar
Teman yang lain berkata,”Hmm, aku mau menghafal juz 28 kok sulit banget yaa? Sudah usaha tapi ya gini gini aja. Ya sudahlah, aku beramal dengan bakti pada suamiku dan mengurus anak-anak saja. Semoga ini menjadi jalan bagiku untuk masuk surga” kata ibu yang lain, Bu Melati.
“Waa, lagi-lagi ini pasangan yang cocok. Kita tahu banget karakter suami ibu, termasuk tipe suami yang ‘agak sulit’, dominan, juga ‘ladenan’ (selalu minta dilayani dalam berbagai hal). Tapi ibu sabar banget. Gak semua orang bisa ikhlas berbakti pada suami yang banyak request-nya lho bu. Bismillah, semoga jadi amalan unggulan ibu, Tapi, hafalannya tetap diupayakan ya bu.. sedikit-sedikit, “kata bu Kenanga lagi.
Ya. Bu Melati yang lembut, memang berjodoh dengan tipe suami yang jauh lebih dominan. Namun, tetap di luar itu, bu Melati juga seorang pendakwah yang tetap memberikan banyak waktunya untuk umat.
Aku makin tertegun, termangu dalam kegamangan. Lalu apa yang bisa kuandalkan sebagai amalan unggulan?
Sholat malam? Hiks, tak rutin kulaksanakan. Begitu pula tilawah, jarang sekali bisa mencapai target 1 juz per hari.
Mengurus anak? Hmmmh, waktuku sesiang banyak tersita di kantor, bertemu dengan anak-anak hanya malam hari, kecuali akhir pekan.
Berbakti pada suami? Aduh, apalagi ini. Rasaya justru suamilah yang selama ini banyak memberikan bimbingan dan perlindungan padaku dengan kesabarannya yang luar biasa. Hiks, ternyata aku tak punya apa-apa yang bisa diandalkan.
Tak tahan, dengan parau aku bertanya, “Hiks, terus saya apa amalan unggulannya? Kayaknya gak ada yang istimewa..”
“Lho… ibu sudah punya tabungan di surga bu, belum lama kan dicoba dengan meninggalnya anak ibu., dan ibu sabar menghadapi cobaan tersebut. Insya Allah itu bisa jadi amalan unggulan. Kita semua belum ada yang mendapat cobaan seperti ibu lho” jawab Bu Kenanga lagi.
”Oh iyakah? “ tanyaku tak yakin, merasa belum layak itu dijadikan amalan unggulan, tapi juga menyimpan harapan. Itu kan taqfdir yang menimpaku, yang mau tak mau harus kuhadapi. Alangkah senangnya kalau itu bisa menjadi amalan unggulan. Ya Allah, semoga saja.
Mendadak aku teringat dengan sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu, Bahwasanya Nabi shollallaahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal selepas sholat subuh : “Ceritakan kepada saya satu amalan yang paling engkau andalkan dalam Islam, karena sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun yang lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada setiap saat, baik malam maupun siang hari kecuali saya selalu melakukan sholat sebanyak yang mampu saya kerjakan”. (HR. Al-Bukhari)
Ah, seperti Bilal dengan amalan unggulannya yang selalu menunaikan sholat sunah seusai wudhu hingga Rasul pun mendengarkan terompahnya di surga, kita pun harus mempersiapkannya. Amalan sederhana, tidak harus berat tapi berciri khas, lalu kontinyu melaksanakannya hingga akhir hayat, dan menjadi kunci untuk membuka pintu surgaNya.
Ingatanku melayang saat Ust Aunur Rafiq Shaleh beberapa tahun yang lalu pernah membahas tentang hadits ini. Beliau menuturkan, pernah pergi dengan saudara jauhnya, seorang bapak paruh baya, naik bis umum. Saat sudah masuk waktunya sholat dzuhur, tiba-tiba saudaranya tersebut dengan sangat percaya diri berdiri lalu dengan lantang mengumumkan pada penumpang yang lain untuk jangan lupa bersegera sholat dzuhur, kalau bisa berjamaah. Usai duduk kembali, ustadz bertanya, kenapa kok dia tidak malu-malu bicara seperti itu. Jawabnya, ternyata dia sudah bertekad bahwa menyerukan sholat di awal waktu pada orang lain dimana pun dia berada akan dijadikan amalan unggulannya, sampai kelak meninggal, Subhanallah.
Rabbi, mudahkan aku menemukan dengan lebih jelas amalan unggulanku…
#pamulang, 20 Juni 2011
Mukti A. Farid
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment