Untuk sebagian orang, uang 20 ribu jauh lebih penting daripada nama. Uang sekecil itu ibarat ayat kursi penangkal setan : membuat berani! Nyatanya 3 lembar uang dua ribuan kucel yang ada dikantong baju mIdun tidak cukup bikin dirinya punya nyali buat pulang.
“Si Midun dah dua hari satu malem disini, Kang”, Satu dari empat temannya yang sama-sama tukang becak bicara sambil ngebul. Seperti efek yang sering dipakai konser-konser dangdut kampung keluar dari mulut yang sudah lama cerai dari odol. Rokok murahan yang tinggal 7 cm. Diapit penuh nafsu oleh jari yang sudah seperti sosis gosong.
Tahulah saya kemudian bahwa Midun hanya nama dagang. Midun tak peduli. Baginya, nama asli tidak penting. Orang Betawi bilang,”Suka-suka lo lah sebut gue ape”. Yang penting baginya sekarang adalah bagimana caranya dapat 20 ribu, setoran minimal buat orang orang rumah. Detilnya : 5.000 untuk beras, 15.000 buat SPP si Bontot. Kurang dari itu Midun tidak tega melihat ekspresi anak-istrinya. Mereka selalu melempar harap kemuka Midun tiap kali pulang narik : Bang beras habis”, keluh istrinya.”Bah, uang sekolah kapan dibayar ?”, pinta anaknya.
Bagi Midun, sekarang mencari uang 20 ribu susahnya minta ampun. 10 Tahun lalu ceritanya tidak begini. Waktu anak-anak mahasiswa di kampus tempatnya mangakal masih banyak dari golongan proletar. Saat ini lain, ketentuan baru menjadikan kampus ini sangat mahal bagi kebanyakan. Bukan hanya otak encer yang bisa sekolah disini, tapi juga orang yang punya dompet meler. Becak tidak laku, Uang (orang tua) mahasiswa lebih banyak mengalir ke SPBU.
Nyaris, 20 ribu jadi berhala bagi Midun. Hidupnya, matinya buat uang segitu itu. Mulutnya yang bungkam, mengatakan jelas ketelinga saya.”Keluargaku tidak boleh menggelepar lapar. Anakku tidak boleh jadi orang tolol”.
Siapakah yang mau menghancurkan berhala itu buat Midun ? Dan bagi jutaan orang lainnya yang seperti itu ? Agar di hati mereka hanya ada Allah, Rabb Semesta Alam.
Tulisan Wildhan Dewayana
repost by : ceritabos.blogspot.com
No comments:
Post a Comment