Tuesday, March 22, 2011

Antara Amanah, Iman dan Aman

     ....  sesungguhnya kepemimpinan itu amanah, dan  pada hari kiamat nanti akan  menjadi  kehinaan dan penyesalan kecuali bagi  yang menunaikan hak dan melaksanakan tanggungjawabnya. ( H.R. Muslim).

            Hadits di atas adalah permohonan  Abu Dzar kepada Rasulullah SAW  untuk diangkat menjadi gubernur di salah satu wilayah daulah islamiyah. Abu Dzar dianggap sebagai orang   lemah  dan tidak mampu memegang kendali kepemimpinan dalam pemerintahan. Rasulullah tidak meluluskan  permohonan tsb. seraya mengemukakan alasannya sebagai tertera  dalam   hadits di atas.

Secara etimologis kata-kata “amanah”, “iman”, “aman” dan “amn(=Ketenangan)” berasal dari derivasi akar kata yang sama yaitu “ Hamzah, mim dan nun” yang  memiliki pangkal makna “ aman”, “tenteram”,“tidak merasa takut”. (lih. Al Mu’jam al “Araby al Asasy, hal.109. Al Mu’jamu al Wasith , Juz I, hal. 28. Al Qamus al Muhith, hal 1518 ). Hakekat maknanyapun  saling berkaitan erat. Iman tidak terwujud sempurna kalau tidak ada amanah , begitu juga sebaliknya. Rasa aman dan ketenanganpun tidak akan terrealisir kalau tidak ada iman dan amanah. Konsekwensi logisnya, seorang mukmin  yang tidak amanah perlu dicurigai kesahihan imannya , demikian juga seorang yang amanah tapi tidak beriman, amanahnya adalah palsu yang didasari atas kepentingan pribadi, politik atau kelompoknya.

Hal ini diungkapkan oleh sebuah hadits yang acap kali disampaikan  Rasulullah dalam khutbahnya :  Tidak ada keimanan bagi seorang yang tidak amanah  dan tidaklah  ada manfaat beragama bagi orang yang tidak memegang janji.(H.R. Ahmad).

Amanah merupakan perasaan hati sanubari yang hidup, yang mendorong manusia untuk  menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia serta melindungi semua amal perbuatan dari penyakit ifrath (berlebihan) dan tafrith (pengabaian). Amanah merupakan suatu keharusan dalam  kehidupan ini.

Kepemimpinan dalam semua levelnya adalah tugas berat. Semakin tinggi level  yang dipimpin semakin besar tanggung jawabnya.   Maka hanya orang amanahlah yang mampu melaksanakan kepemimpinan secara bertanggung jawab, karena ia menyadari bahwa kepemimpinan adalah taklif (beban berat) dan bukan tasyrif ( kehormatan). Orang yang berprinsip demikian tidak merasa bangga   bila diberi jabatan  ataupun bersedih ketika diturunkan dari jabatannya.  Ia tahu bahwa jabatan  atau kepemimpinan  adalah beban yang harus dipikulnya bukan kesempatan untuk menggaruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Semakin tinggi kadar keimanan seseorang  semakin besar amanahnya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dan pada gilirannya akan semakin besar pula pengaruhnya dalam menciptakan keamanan dan ketenteraman bawahan atau rakyat yang dipimpinnya. Khalifah Umar r.a. yang memerintah dari kota Madinah pernah menyatakan: Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Baghdad, niscaya Umar akan ditanya oleh Allah (Di akhairat nanti) :”Mengapa engkau (Hai Umar) tidak meratakan jalannya ?”.

Betapa hebat sifat amanah dan rasa tanggung jawab yang dimiliki Amirul mu’minin ini. Kendati jarak kota  Baghdad amat jauh dari Madinah   namun karena kebesaran amanahnya dia yakin bahwa semua kesengsaraan atau bahkan  ketidaknyamanan hidup yang dirasakan oleh seluruh rakyatnya merupakan tanggungjawabnya belaka.

Orang amanah  adalah pembawa keamanan, dan penebar  kebajikan serta kedamaian  bagi setiap individu dan masyarakat. Ia berusaha mengajak manusia kepada petunjuk Allah, dan perbaikan umat, serta membimbing ke arah  kebahagiaan dunia dan akhirat. Di suatu negri manapun, bila mayoritas penduduk dan pejabatnya amanah, tidak ada pemerkosaan hak, kedzaliman, manipulasi, kolusi,  korupsi, intimidasi dan tindakan-tindakan lain yang  melawan hukum Allah.

Kendati teknologi canggih belum ada pada masa  Rasulullah  saw dan Khulafaur Rasyidin, ilmu pengatahuan belum berkembang sepesat sekarang, namun  rakyat  hidup sejahtera, aman, tenteram dan penuh kasih sayang. Tidak ada seorangpun yang merasa didzalimi haknya atau ditindas oleh atasannya. Karena mayoritas  penduduk dan para pejabat  saat itu berakhlak mulia  dan bersifat amanah. Setiap orang mengetahui hak dan kewajibannya. Lebih dari itu keadilan dan kasih sayang dijadikan penguasa sebagai pusat  perhatiannya.
Seandainya di era globalisasi ini para pemegang amanah  sepersepuluh dari  jumlah penduduk  yang ada, kondisi umat ini akan berbeda. Krisis ekonomi, krisis ketenangan jiwa dan krisis-krisis lainnya  tidak akan terjadi separah  sekarang  ini.

Keamanan, ketenangan dan ketenteraman senantiasa lahir bersama amanah dan keimanan. Rasa takut dan kegelisahan muncul akibat khianat dan kufur nikmat. Rasa aman itu nikmat sedangkan rasa takut adalah musibah. Pokok pangkal kenikmatan manusia terdapat pada rasa aman dan kelapangan hidup.  Sedangkan pokok pangkal malapetaka terdapat  pada rasa takut dan kesempitan hidup. Bila Iman dan amanah ada dalam diri para pemimpin berarti  umat manusia akan hidup nyaman  dan aman . Dalam suatu hadits disebutkan : “Apabila amanah diabaikan, maka tunggulah masa kehancuran. Ditanyakan kepada Rasulullah .:”Apakah bentuk pengabaian amanah ?” Beliau menjawab :”Bila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya.”( H.R. Bukhari dari Abu Hurirah).

No comments:

Post a Comment