Kulangkahkan kaki setapak demi setapak, melangkah pelan dipadang gersang, didepan mata kudapati gambaran pilu sebuah kehidupan. Sesosok tua berjalan terseok-seok di pingiran kota, diantara gedung-gedung megah perkotaan, ia terus berjalan, bertumpu pada kedua tangannya, dua kakinya tak lagi berdaya menopang tubuhnya yang meski tak lagi berdaging. Laki-laki tua itu, kulihat wajahnya yang tirus dan layu, namun sinar di matanya mengatakan keikhlasan dan keberanian. Hatiku iba, inginku ulurkan tangan ini, tapi ingin itu tak jua berbuah nyata.
Mata kecilku tak sanggup menyaksikan pemandangan didepanku ini yang setiap detik meski pelan tapi kurasakan ia pun semakin jauh dari pandangan. Kulemparkan pandangan membuang arah, mencoba tangkis kesedihan, tapi malang, malah kudapati sesosok laki-laki tua kecil berseragam hijau mendorong gerobak sampah warna merah, pergi pagi sekali. Ia sibuk punguti sampah-sampah masyarakat kota. Ia, laki-laki tua kecil berseragamkan kain hijau tengah mendorong gerobak sampah merah, tubuhnya tak lebih tinggi dari gerobak sampah sehingga jikalau engkau lihat dari kejauhan, maka seakan-akan gerobak merah itu berjalan sendiri. Ah, kucoba acuh, tapi alam kecilku menolak, kudapati jiwaku tersentil oleh keegoisanku, kekanak-kanakanku, kesombonganku menelentarkan sekeping mata uang, padahal itu sangat berarti bagi mereka.
Sekali lagi, mataku ku buang arah, coba tak pedulikan, karena aku adalah manusia terhormat. Entah apa hendak Tuhan kepadaku, mataku tak pernah lepas dari pandangan-pandangan getir tersebut, kali ini sesosok anak kecil dengan kakinya yang lincah, menari-nari sambil bernyanyi riang di depan ribuan manusia lalu-lalang di tengah terik siang yang membakar. Kuamati ia beberapa menit lamanya, tak satupun kulihat manusia-manusia terhormat itu, mungkin termasuk golonganku, mengulurkan tangan dari balik kaca mobil mewah mereka. Mungkin panas memburamkan penglihatan mereka. Tapi aku salut, atau mungkin sinis, terhadap semangat dan pantang menyerahnya. Meski manusia-manusia terhormat terlihat acuh, tapi anak kecil itu tak pernah sedetikpun membuang senyum tulusnya. Anak kecil itu terus memainkan alat musik sambil bernyanyi, meski tak seorangpun yang mau memperdengarkannya. Kali ini aku tak ingin membuang arah, aku tak ingin pura-pura acuh. Aku ingin pejamkan mata sejenak, mencoba berdamai dengan mata hati, membiarkan hati kecil berbicara dan mengatakan bahwa ada kehidupan penuh pilu disekitar kemegahan. Aku terus pejamkan mata kecilku, hingga butiran bening mengalir pelan dari kedua sudut mata ini.
www.forum-buku.blogspot.com
No comments:
Post a Comment